Home LiCAS.news Bahasa Indonesia Church & Society (Bahasa) Kardinal pertama Malaysia, Anthony Soter Fernandez, meninggal pada usia 88 tahun

Kardinal pertama Malaysia, Anthony Soter Fernandez, meninggal pada usia 88 tahun

Kardinal Anthony Soter Fernandez, kardinal pertama Malaysia, meninggal pada 28 Oktober pada usia 88 tahun.

Prelatus itu sebelumnya didiagnosis menderita kanker dan telah menjalani beberapa prosedur medis sejak bulan November.

Dia meninggal saat sedang tidur di Panti Jompo St. Fransiskus Xavierius di kota Cheras.

“Kami menyampaikan simpati dan belasungkawa yang tulus kepada… semua uskup Konferensi Waligereja Malaysia, Singapura dan Brunei, kepada keluarga dan teman-temannya,” bunyi pernyataan dari Federasi Konferensi Waligereja Asia (FABC).




Lahir pada 22 April 1932, di Sungai Patani di Keuskupan Penang, Kardinal Fernandez ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1966.

Ia diangkat sebagai uskup Penang oleh Paus St.Yohanes Paulus II pada tahun 1977 dan Uskup Agung Kuala Lumpur pada tahun 1983, dan diangkat menjadi kardinal oleh Paus Fransiskus pada November 2016.

Dia menjalani hidup imamat selama 53 tahun, sebagai uskup selama 42 tahun, dan seorang kardinal selama tiga tahun.

- Newsletter -

Kardinal Fernandez menjabat sebagai ketua Konferensi Waligereja Malaysia, Singapura, dan Brunei dari tahun 1987 hingga 1990 dan kemudian dari tahun 2000 hingga 2003.

Dari tahun 1981 hingga 1982, ia menjadi anggota Kantor Pendidikan dan Kerohanian Mahasiswa FABC sebelum diubah namanya menjadi Kantor Pendidikan dan Pembinaan Iman pada tahun 2008.

Selama lima tahun, dari 1984 hingga 1989, Kardinal Fernandez bekerja di Kantor Pengembangan Manusia federasi tersebut.

“Dia benar-benar anggota setia FABC,” demikian pernyataan yang ditandatangani oleh Pastor William LaRousse, MM, asisten sekretaris jenderal FABC.

“Keluarga FABC pasti akan kehilangan kebijaksanaan dan keahliannya namun akan terus menerima berkat dan perlindungan dari atas,” tambah pernyataan itu.

Kardinal Fernandez dikenal sebagai salah satu arsitek “pembaruan pastoral” dalam Gereja lokal di Malaysia pada tahun 1976, yang mengidentifikasi kebutuhan akan “komunitas yang berpusat pada Kristus.”

Dia juga dikenal sebagai penggerak dan pionir dalam mempromosikan penggunaan bahasa nasional di Gereja setempat “sebagai tanda komitmen dan cinta kami terhadap negara kami.”

Dia mengatakan Gereja harus lebih memperhatikan bahasa dan budaya lokal jika ingin tetap setia pada gagasan inkulturasi pasca Konsili II.

Ia adalah uskup pertama yang menggunakan Bahasa Malaysia “Keadilan dan Keamanan” sebagai moto uskupnya.

Kardinal Fernandez menjalani pendidikan awalnya di Klian Pauh Convent, Taiping, dari 1940 hingga 1941.

Sekolahnya terganggu oleh Perang Dunia II, tetapi dia melanjutkan pendidikannya di Sekolah St. Theresa dan Sekolah Ibrahim di Sungei Petani.

Setelah kematian ayahnya pada tahun 1946, ia harus mengesampingkan studinya dan mengambil peran sebagai pencari nafkah bagi keluarganya.

Menurut mereka yang mengetahui seluk beluk kehidupan kardinal, prioritas utamanya adalah merawat ibunya dan memastikan bahwa adik laki-lakinya akan mendapatkan pendidikan yang layak.

Dia bekerja sebagai asisten rumah sakit dari tahun 1947 hingga 1954.Ia bergabung dengan seminari menengah di Singapura pada tahun 1958 pada usia 26 tahun. Ia menyelesaikan pembinaan imamatnya di College General pada tahun 1966 dan ditahbiskan menjadi imam oleh Uskup Dominic Vendargon pada 10 Desember pada tahun yang sama.

Penugasan pertamanya setelah ditahbiskan imama adalah sebagai pastor pembantu dan kemudian menjadi pastor paroki di Gereja St. Louis di Taiping, di mana dia melayani selama tiga tahun.

Dia kemudian mengikuti pendidikan pada International Training Institute for World Churchmen dan East Asian Pastoral Institute di Manila, Filipina.

Pada tahun 1972, ia belajar pada Intensive Training Institute di National Biblical Catechetical-Liturgical Center di Bangalore, India.

Pada tahun 1973, ia diangkat sebagai pengajar di College General untuk memperkenalkan para siswanya ke dalam kehidupan imamat. Ketika jabatan rektor kosong pada tahun 1975, ia diangkat menjadi rektor.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest