Home LiCAS.news Bahasa Indonesia Features (Bahasa) Warga desa yang terkena topan di Filipina mencari bantuan di jalanan

Warga desa yang terkena topan di Filipina mencari bantuan di jalanan

Dia tahu bahwa bantuan tidak akan datang, dan satu-satunya cara untuk menjaga agar tetap hidup setelah topan dahsyat adalah dengan mengemis.

Sudah lebih dari dua minggu, Annalyn Consulta berdiri sepanjang hari di pinggir jalan, berharap ada dari banyak kendaraan yang melewati jalan raya tersebut yang akan membantunya.

Bersama lebih dari 30 orang, dia meninggalkan desa Bariis di kota Tiwi, provinsi Albay, pada dini hari agar tepat waktu untuk mendapatkan kemungkinan distribusi bantuan.




Desa tempat tinggal Annalyn di sebuah dataran tinggi menjadi salah satu desa yang paling parah dihantam Topan Super Rolly (nama internasional: Goni) pada 1 November.

Sebelum Rolly menghancurkan rumah mereka, Topan Molave, yang dikenal disebut warga sebagai Quinta, telah merusak tanaman penduduk desa pada 23 Oktober.

Annalyn mengatakan situasinya memburuk setelah Topan Ulysses (nama internasional: Vamco) yang disertai hujan lebat menghantam pada 11 November.

Ia mengatakan bahwa sejak serangan topan belum ada bantuan yang sampai ke desa mereka.

- Newsletter -

“Setelah malapetaka Rolly kami memutuskan untuk turun ke jalan raya dan mengemis makanan dan menunggu barang bantuan,” katanya.

Annalyn tidak bisa mengatakan jarak antara desanya dengan jalan raya, tapi menurutnya perjalanan sangat melelahkan.

“Kami harus berjalan di bebatuan besar di pegunungan selama hampir satu jam hanya untuk sampai di sini,” kata ibu berusia 28 tahun itu.

Annalyn Consulta, 28, seorang warga desa Bariis di kota Tiwi, provinsi Albay, telah memohon bantuan di pinggir jalan sejak desanya dilanda serangkaian topan yang menghancurkan rumah dan pertanian sejak awal November . (Foto oleh Mark Saludes)

Ia mengatakan perjalanan panjang dimulai dengan perut kosong dan dengan harapan menemukan buah-buahan liar di sepanjang jalan.

Begitu mereka mencapai jalan raya, mereka akan “menunggu berkah” yang diakui Annalyn “seringkali tidak datan.”

“Kami bertekad untuk datang ke jalan raya dari pegunungan setiap hari karena kami tahu pemerintah akan mendistribusikan paket bantuan dan bahan-bahan yang dapat kami gunakan untuk membangun kembali rumah kami,” katanya.

Tetapi tidak ada jaminan bahwa mereka diikutsertakan dalam program bantuan apa pun yang tersedia.

Annalyn mengatakan para pemberi bantuan tampaknya memprioritaskan mereka yang tinggal di dataran rendah dan mereka yang rumahnya rusak total akibat topan.

Hampir setiap hari, dia dan penduduk desa lainnya akan kembali ke rumah mereka dengan tangan kosong.

Di jalan yang sama dengan Annalyn adalah komunitas masyarakat adat Agta-Tabangnon.

Seperti penduduk dari desa dataran tinggi, anggota suku mengandalkan paket darurat yang disediakan oleh pemerintah daerah dan kelompok non-pemerintah.

Nanay Consolacion, seorang nenek berusia 72 tahun, mengatakan topan menghancurkan tanaman mereka, satu-satunya sumber makanan dan mata pencaharian mereka.

Lebih dari seribu penduduk asli di kota Tiwi bertahan hidup di perkebunan Abaca, kelapa, dan sayuran mereka. Akan tetapi, topan telah menghancurkan lebih dari 90 persen tanaman mereka.

“Kami harus menunggu tanaman kami tumbuh lagi,” kata Consolacion.

“Sementara ini, kami tidak punya pilihan lain selain mengandalkan bantuan dan berharap bantuan ini datang pada saat sangat dibutuhkan,” ujarnya.

Sebuah keluarga masyarakat adat Agta-Tabangnon meminta bantuan untuk komunitas mereka yang hancur. (Foto oleh Mark Saludes)

Mengisi celah

Masuknya pegiat kemanusiaan internasional dan lokal di wilayah yang dilanda bencana menggarisbawahi besarnya kesenjangan dalam respon pemerintah terhadap krisis.

Pastor Geowen Porcincula dari Kongregasi Misi mengatakan setiap kali bencana melanda negara itu, penyedia bantuan non-pemerintah mengisi kegagalan layanan yang diberikan oleh pemerintah.

Imam yang mengepalai program tanggap kemanusiaan di kongregasi itu mengatakan bahwa meskipun ada berbagai penyedia bantuan “banyak komunitas masih tertinggal.”

“Satu masalah utama adalah keseluruhan siste atau desain  respon yang harus datang dari pemerintah pusat,” katanya.

“Tanpa itu, kita tidak mencapai target yang sebenarnya,” ujarnya.

“Kita memasuki minggu ketiga sejak topan menghancurkan provinsi (Catanduanes), tetapi sejumlah besar bantuan darurat masih dibutuhkan,” kata imam itu.




Sementara pemerintah melaporkan bahwa setidaknya 34.178 rumah rusak di lima wilayah, badan aksi sosial Keuskupan Legazpi mengatakan di provinsi Albay sendiri setidaknya 23.000 rumah rusak total.

Pastor Rex Paul Arjona, direktur kelompok aksi sosial keuskupan, mengatakan kantornya berencana membantu setidaknya 10 persen dari jumlah total tempat penampungan yang rusak total.

Keuskupan juga telah mendirikan pusat bantuan yang akan mengkoordinasikan distribusi bantuan di komunitas yang kurang terlayani.

“Ada banyak kelompok, orgnaisasi kecil atau kantor swasta, yang membawa bantuan,” kata Pastor Arjona. “Kami membantu mereka mengidentifikasi komunitas yang tepat untuk mendapatkan bantuan.”

Dia mengatakan jalan menuju pemulihan “masih jauh” dan akan membutuhkan bantuan dari semua sektor.

“Setiap orang harus maju dan membantu membangun kembali komunitas ini. Sekarang lebih menantang karena kita tidak bisa mengandalkan pemerintah pusat, ”kata imam itu.

Diperkirakan dua juta orang Filipina terkena dampak topan kuat yang melanda negara itu sejak awal November. Banjir menggenangi banyak komunitas di pulau utama Luzon, Filipina. (Foto oleh Mark Saludes)

Mendata yang belum terjangkau

Dewan Gereja Nasional Filipina (NCCP) sudah mulai melakukan pendataan terhadap komunitas yang kurang terlayani.

Sehari setelah Topan Ulysses melanda negara itu pada 12 November, kelompok gereja Protestan memobilisasi tim untuk memetakan komunitas yang membutuhkan bantuan segera.

Sylwyn Sheen Alba-Salvador dari NCCP mencatat bahwa banyak komunitas, terutama di desa-desa terpencil, belum menerima bantuan selama berminggu-minggu setelah bencana sebelumnya.

Dia mengatakan kurangnya bantuan menunjukkan adanya kesenjangan dalam respon pemerintah.

“Kalau tidak ditindaklanjuti akan menimbulkan masalah yang lebih besar, seperti kelaparan, gizi buruk, dan krisis kesehatan mental karena masyarakat sudah kelaparan,” kata Salvador.

Dia mengatakan NCCP akan melakukan operasi bantuan di komunitas yang kurang terlayani dalam beberapa minggu mendatang untuk mengurangi kesenjangan yang disebabkan oleh respons pemerintah yang lambat.

“Kesenjangan dalam respons kemanusiaan juga menunjukkan ketidaksiapan pemerintah,” kata Salvador, dan menambahkan bahwa tampaknya tidak ada rencana awal yang konkret.




Dewan Manajemen dan Pengurangan Risiko Bencana Nasional pemerintah melaporkan total 523.871 keluarga, atau lebih dari dua juta orang, di delapan wilayah yang terkena dampak Topan Ulysses.

Sekitar 80.160 keluarga atau 306.497 jiwa tinggal di 2.595 pusat evakuasi.

Pstor Arjona mengatakan pemerintah daerah telah melakukan yang terbaik untuk menanggapi kebutuhan masyarakat “tetapi mereka juga sudah kelelahan.

“Sumber daya dan keuangan sebagian besar di lembaga-lembaga pemerintah daerah sudah habis dan terkuras karena pandemi virus corona,” katanya.

“Apakah kita memiliki pemerintah pusat? Hanya pemerintah daerah dan instansi yang tampil, ”katanya.

Pastor Arjona mengatakan kesenjangan dalam respons kemanusiaan dan kurangnya intervensi di banyak komunitas yang kurang terlayani “adalah masalah yang dibuat.”

“Masalahnya ada pada proses pengambilan keputusan terkait alokasi anggaran,” katanya menambahkan bahwa pemerintah pusat “tidak memprioritaskan kesiapsiagaan bencana”.

Sementara itu, Annalyn terus mengemis di pinggir jalan, berharap bantuan datang dari salah satu kendaraan yang melintas di jalan raya tersebut.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest