Pemimpin Gereja Katolik, terutama para uskup, tidak boleh hanya fokus pada kebutuhan rohani umat tetapi juga “perkembangan integral” mereka.
Pernyataan itu dibuat oleh Kardinal Charles Maung Bo asal Myanmar dan presiden Federasi Konferensi Waligereja Asia, saat tahbisan seorang uskup di Myanmar pada 29 November.
Prelatus itu mengambil kesempatan tersebut untuk mendesak para pemimpin gereja di Asia agar memiliki “mentalitas misionaris” dan menangani “kemiskinan dan isolasi” yang merupakan salah satu dari sekian banyak tantangan yang dihadapi Gereja di Asia.
“Umat kita sangat miskin, mereka sangat menderita, mereka terisolasi dari dunia luar,” kata kardinal itu.
“Para uskup tidak boleh hanya fokus pada kebutuhan rohani umat tetapi perkembangan integral mereka,” kata Kardinal Bo dalam homilinya saat penahbisan uskup John Saw Gawdy di Keuskupan Taungngu Myanmar di kota Leitho.
Tahbisan yang disiarkan secara online itu hanya dihadiri sekitar 30 orang karena pembatasan kesehatan akibat pandemi virus corona yang merajalela.
Kardinal Bo mengatakan bahwa keuskupan-keuskupan di negaranya “perlu terbuka terhadap dunia” dan umat generasi berikutnya perlu dibina.
Ia mendesak para imam untuk mengakhiri “isolasi geografis dan intelektual” dan terlibat dalam meningkatkan keterampilan umat di komunitas.
Prelatus itu mengingatkan para pemimpin gereja tentang seruan Paus Fransiskus akan “mentalitas misionaris” yang mencari ide-ide baru, aktivitas baru, impian baru.
“Secara sosial dan spiritual kita perlu mengembangkan keuskupan,” kata Kardinal Bo, mengacu pada keuskupan uskup yang baru ditahbiskan.
Dalam homilinya, Kardinal Bo menekankan bahwa seorang uskup Gereja Katolik harus menjadi “tanda persatuan, nabi, imam, dan gembala, dan perencana”.
Prelatus itu kemudian mengucapkan terima kasih kepada para misionaris yang bekerja di Myanmar, terutama anggota Institut Kepausan untuk Misi Asing yang “darah dan pengorbanannya menyirami taman Keuskupan Taungngu”.
“Ratusan dari mereka datang ke sini dan meninggal di sini, kata kardinal. “Mereka menjalani kehidupan dengan pengorbanan yang besar, hidup selama perang, mereka di penjara, bahkan ada yang meninggal sebagai martir,” katanya.
Dia mengutip kemartiran pastor misionaris Italia Alfredo Cremonesi, yang menjadi seorang misionaris di Myanmar selama 28 tahun, yang terbunuh pada 7 Februari 1953.
Awal tahun ini, Kongregasi Penyebab Orang Suci, mengeluarkan dekrit yang mengakui kemartiran imam itu.