Kardinal Joseph Zen telah mengingatkan adanya intimidasi politik yang meningkat terhadap jurnalis di Hong Kong menyusul pemenjaraan pemilik media Jimmy Lai pekan lalu.
Lai, seorang pengkritik keras Partai Komunis Tiongkok, telah didakwa di bawah undang-undang keamanan nasional yang kontroversial karena dicurigai berkolusi dengan kekuatan asing.
Kardinal Zen mengatakan penangkapan Lai, seorang awam Katolik, “jelas merupakan kasus intimidasi politik,” dan menambahkan bahwa penangkapan aktivis demokrasi itu merupakan peringatan bagi orang lain.
“Arah kebijakan sudah jelas yaitu menekan kebebasan berekspresi,” kata uskup emeritus Hong Kong itu dalam wawancara dengan Catholic News Agency.
Kardinal Zen mengatakan keputusan untuk menolak jaminan Lai adalah konyol.
“Jimmy telah didakwa dengan banyak tuntutan pidana lainnya [terkait dengan aktivisme pro-demokrasi] dan jaminan dapat iberikan untuk kasus ini, tapi sekarang karena hal sepele dia bahkan tidak diizinkan dapat jaminan?”
“Ini jelas penganiayaan politik,” kata Kardinal Zen kepada CNA.
Lai yang berusia 73 tahun muncul di pengadilan pada 12 Desember dengan pinggang diborgol rantai, dan dikawal seorang petugas polisi.
Sebelumnya ia dituduh meminta negara asing untuk menjatuhkan sanksi terhadap Hong Kong atau Tiongkok, dan mengambil “tindakan bermusuhan” lainnya.
Bukti yang disajikan oleh polisi termasuk tweet yang meminta Donald Trump untuk memberi sanksi kepada pejabat China.
Lai adalah tokoh kenamaan yang didakwa berdasarkan UU Keamanan Nasional, yang memungkinkan pasukan keamanan Tiongkok beroperasi di Hong Kong.
Jika terbukti bersalah, Lai bisa menghabiskan sisa hidupnya di penjara.
Lai lahir dari keluarga kaya di Tiongkok daratan pada tahun 1947. Keluarganya menderita setelah komunis mengambil alih kekuasaan pada tahun 1949, dan ibunya dikirim ke kamp kerja paksa. Pada usia 12 tahun ia diselundupkan ke Hong Kong. Kardinal Zen membaptisnya pada tahun 1997, tahun yang sama ketika bekas koloni Inggris itu dikembalikan ke pemerintahan Tiongkok.
Kardinal Zen mengatakan bahwa sejak Undang-Undang Keamanan Nasional mulai berlaku pada 1 Juli, pihak berwenang di Hong Kong telah melakukan tindakan keras sistematis terhadap kebebasan sipil.
Ia juga memperingatkan bahwa itu bisa digunakan untuk membungkam Gereja di Hong Kong.
Kardinal mengatakan serangan terhadap kebebasan dasar di Hong Kong melampaui represi politik dan mewakili ancaman yang berkembang bagi Gereja.
“Saya sudah sering mengatakan bahwa tidak akan ada kebebasan beragama jika tidak ada kebebasan,” katanya dalam wawancara dengan CNA.
Dalam beberapa bulan terakhir, Keuskupan Hong Kong telah mengeluarkan arahan kepada sekolah-sekolah Katolik tentang “pengembangan nilai-nilai yang benar tentang identitas nasional”.
Keuskupan juga mendesak para siswa untuk menghormati simbol-simbol nasional Tiongkok termasuk bendera dan lagu kebangsaan dan telah memblokir kampanye pro-demokrasi Katolik yang akan ditayangkan di surat kabar lokal.
Kardinal Zen menyebut tindakan tersebut “sangat menyedihkan” serta menambahkan bahwa “kami tidak dapat lagi bisa dengan bebas mewartakan nilai-nilai Injil” di Hong Kong.
Prelatus itu telah secara blak-blakan mengkritik kesepakatan Takhta Suci dengan pemerintah Cina, yang pertama kali disetujui pada 2018 dan baru-baru ini diperpanjang selama dua tahun lagi.