Anggota parlemen di Thailand telah menyatakan pilihan untuk mengizinkan aborsi janin berusia hingga 12 minggu, sebuah langkah yang ditentang oleh Gereja Katolik setempat.
Dalam rapat paripurna hingga larut malam pada 25 Januari, anggota perlemen memberikan suara 166-7 untuk mendukung amandemen undang-undang yang mengkriminalisasi aborsi, dan mendukung rencana yang menurut promotornya berupaya untuk mengatasi aborsi yang dilakukan oleh praktisi non-medis.
Amandemen tersebut akan membolehkan perempuan untuk melakukan aborsi dengan usia hingga 12 minggu dengan alasan apapun. Berdasarkan amandemen tersebut, aborsi setelah 12 minggu hanya diperbolehkan dalam kondisi tertentu dan jika tidak, akan dihukum hingga enam bulan penjara, atau denda hingga 10.000 baht ($ 334) atau keduanya.
“Ini berarti aborsi bersyarat dan hanya dapat dilakukan oleh dokter sesuai dengan hukum,” kata Senator Wanlop Tangkhananurak kepada Reuters.
Amandemen tersebut disahkan oleh majelis rendah pekan lalu dan mengikuti keputusan Mahkamah Konstitusi Februari lalu yang memutuskan bahwa kriminalisasi aborsi tidak konstitusional dan melanggar hak asasi manusia.
Di bawah kriteria baru, aborsi setelah janin berusia 12 minggu akan diizinkan jika dokter bersertifikat menganggap ada risiko gangguan janin tinggi, bahaya bagi nyawa ibu, atau jika kehamilan adalah akibat pemerkosaan, penipuan, atau pemaksaan.
Akan tetapi sejumlah aktivis pro-aborsi mengeluh dan mengatakan mempertahankan hukuman akan memperpanjang stigma aborsi.
Pastor Pairat Sriprasert, direktur pastoral Konferensi Uskup Katolik Thailand dan Sekretaris Jenderal Caritas Thailand, mengatakan kepada LiCAS.news bahwa Gereja selalu tegas dalam pendiriannya melawan aborsi.
“Hak-hak anak yang belum lahir juga perlu dipertimbangkan,” katanya, dan menambahkan bahwa masih ada pilihan lain yang tersedia bagi perempuan selain membunuh anak yang belum lahir.
Pastor Pairat menekankan bahwa Gereja sangat menghargai kehidupan sejak pembuahan.
Sejumlah kelompok Katolik di Thailand akan bertemu pada 28 Januari untuk mengadakan diskusi terbuka tentang aborsi dan bagaimana mempromosikan semangat pro-kehidupan di negara itu.
Sebelum pemungutan suara Senat, Konferensi Uskup Katolik Thailand (CBCT) meminta para uskup dan ketua kongregasi religius untuk bergabung dalam petisi yang menentang amandemen tersebut.
Umat Katolik di Thailand berjumlah hampir 400.000 orang, atau sekitar 0,5 persen dari 65 juta lebih penduduk negara itu. Aborsi juga dianggap sebagai dosa yang mirip dengan pembunuhan dalam ajaran Buddha Theravada yang dianut oleh mayoritas orang Thailand.
Tambahan dari Reuters