Uskup Katolik di Filipina meminta masyarakat Myanmar untuk tidak putus asa di tengah krisis politik yang melanda negara mereka.
Uskup San Jose di Filipina utara, Mgr. Roberto Mallari mengatakan rakyat Myanmar harus tetap penuh harapan dan berani meskipun menghadapi tantangan.
“Kita serahkan tangan Bapa hidup kita… rakyat Myanmar, yang saat ini melewati momen paling berat dalam sejarah mereka sebagai sebuah negara,” kata ketua Departemen Komunikasi Sosial Federasi Konferensi Waligereja Asia.
Uskup Mallari memimpin perayaan ‘Misa solidaritas’ untuk Myanmar di kantor Radio Veritas Asia di Quezon City pada 16 Februari.
Dalam homilinya, uskup itu mengatakan bahwa setiap orang harus selalu menaruh kepercayaan dan harapan kepada Tuhan terutama selama masa pandemi dan krisis ini.
“Betapa mudahnya melupakan apa yang sudah Tuhan lakukan bagi kita dan meragukan apa yang Dia janji untuk lakukan bagi kita di masa depan juga,” kata Uskup Mallari.
Uskup itu mengingatkan umat beriman untuk selalu mengisi hati mereka dengan kasih Yesus karena “cinta yang sempurna mengusir rasa takut.”
Ia meminta warga Myanmar agar tidak membiarkan diri mereka dipengaruhi oleh “orang-orang berpikiran jahat yang dapat dengan mudah merusak kita saat kita merasa putus asa atau tidak berdaya.”
Uskup Mallari juga mengutip pesan Kardinal Charles Maung Bo dari Yangon yang sebelumnya mendesak rakyat Myanmar untuk tidak menggunakan kekerasan dan membuka jalan bagi dialog untuk menyelesaikan krisis.
Militer janjikan pemilu
Pada 16 Februari, junta militer Myanmar berjanji untuk mengadakan pemilihan umum dan akan menyerahkan kekuasaan.
Mereka juga membela perebutan kekuasaan pada 1 Februari, dan membantah itu sebagai kudeta, bahkan ketika pengunjuk rasa turun ke jalan.
“Tujuan kami adalah mengadakan pemilihan umum dan menyerahkan kekuasaan kepada partai pemenang,” kata Brigjen Zaw Min Tun, juru bicara dewan yang berkuasa, dalam konferensi pers pertama junta sejak menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi.
Militer belum menyebutkan tanggal kapan pemilihan baru akan dilaksanakan, tetapi telah memberlakukan keadaan darurat selama satu tahun. Zaw Min Tun mengatakan militer tidak akan lama memegang kekuasaan.
“Kami menjamin … bahwa pemilihan akan diadakan,” katanya dalam konferensi pers yang berlangsung hampir dua jam, yang disiarkan langsung oleh militer dari ibu kota, Naypyitaw, melalui Facebook, yang telah diblokir di negara itu.
Ditanya tentang penahanan Suu Kyi dan para pemimpin politik lainnya, Zaw Min Tun menepis anggapan bahwa mereka ditahan. Ia mengatakan bahwa mereka berada di rumah mereka demi keamanan mereka.
Seruan untuk demo lebih besar
Penentang militer telah menyerukan aksi protes yang lebih besar pada 17 Februari untuk menunjukkan dukungan publik yang luas untuk Suu Kyi.
Mereka mengungkapkan keraguan atas janji junta militer untuk mengadakan pemilu yang adil dan akan menyerahkan kekuasaan.
Suu Kyi yang ditahan sejak kudeta 1 Februari sekarang menghadapi tuduhan melanggar Undang-Undang Penanggulangan Bencana Alam serta dakwaan mengimpor enam radio walkie talkie secara ilegal.
Kudeta yang mempersingkat transisi negara Asia Tenggara itu menuju demokrasi, telah memicu demonstrasi setiap hari sejak 6 Februari, yang diikuti ratusan ribu orang.
Pengambilalihan kekuasaan oleh tentara menuai kecaman keras dari Barat, memicu kemarahan terbaru Washington dan London atas tuduhan tambahan bagi Suu Kyi.
Meskipun Tiongkok telah mengambil sikap yang lebih lunak, duta besarnya di Myanmar pada 16 Februari menepis tuduhan bahwa mereka mendukung kudeta.
Pelapor Khusus PBB Tom Andrews mengatakan ia takut akan kemungkinan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa dan meminta negara manapun yang memiliki pengaruh atas para jenderal, dan bisnis, untuk menekan mereka agar mencegahnya.
Tambahan dari Reuters