Lembaga sosial Gereja Katolik di Bangladesh menyatakan kekhawatirannya atas keselamatan pengungsi Rohingya di negara itu menjelang musim hujan yang kian mendekat.
Musim hujan akan membawa malapetaka bagi sekitar 1,1 juta Rohingya yang tidak berdaya di kamp-kamp pengungsian, kata Caritas Bangladesh dalam sebuah pernyataan.
Ada banyak hal yang perlu dilakukan secara khusus untuk membantu para pengungsi yang terkena dampak kebakaran besar di salah satu kamp bulan lalu yang menewaskan 15 orang dan menghancurkan tempat berlindung yang berdampak bagi sekitar 92.000 orang.
Sekitar 10.000 bangunan termasuk jamban, fasilitas kesehatan, fasilitas masyarakat, dan masjid rusak akibat kebakaran tersebut, dan para pengungsi sangat membutuhkan makanan, tempat penampungan darurat, air dan sanitasi.
“Sekarang berlomba dengan waktu untuk membantu orang membangun tempat berlindung yang cukup kuat untuk menahan angin kencang dan hujan lebat yang akan tiba dalam beberapa hari ke depan,” kata Inmanuel Chayan Biswas dari Caritas Bangladesh.
Biswas mengatakan kebakaran 22 Maret itu sangat berdampak ada pada kondisi mental perempuan dan anak-anak. “Keamanan mereka terancam karena mereka tinggal di rumah darurat sejak kebakaran,” kata Biswas.
Salah satu pengungsi, Minuara Begum, mengatakan dia dan keluarganya kehilangan segalanya akibat kebakaran, termasuk tempat mereka bernaung.
“Kami sama sekali tidak merasa aman di dalam kamp, terutama pada malam hari,” katanya.
Uskup Gervas Rozario, presiden Caritas Bangladesh, mengatakan organisasi itu “mencoba yang terbaik untuk sebisa mungkin membantu pengungsi Rohingya.”
Prelatus itu mengatakan banyak tempat penampungan Rohingya juga “dibakar untuk alasan yang tidak diketahui,” dan menambahkan bahwa “banyak orang hidup di tempat terbuka tanpa naungan.”
“Kami akan terus berupaya untuk membantu mereka selama mereka membutuhkan dan semampu kami,” kata prelatus itu.

Caritas, bersama dengan Organisasi Migran Internasional, telah membantu membangun kembali tempat penampungan darurat segera setelah kebakaran.
“Sejauh ini kami telah membantu hampir 650 keluarga, membangun tempat penampungan dengan dukungan teknis yang diperlukan dan telah menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk memastikan akses langsung ke air dan sanitasi,” kata Biswas.
Ia mengimbau komunitas internasional untuk membantu dan mengatakan bahwa “Bangladesh, sebagai negara berkembang, tidak dapat melakukan ini sendirian.”
Sebagian besar pengungsi melarikan diri dari Myanmar setelah 25 Agustus 2017, ketika pasukan keamanan negara itu melancarkan serangan dahsyat terhadap komunitas Rohingya di Negara Bagian Rakhine.
Serangan itu dilatarbelakangi oleh diskriminasi, penganiayaan, dan kekerasan selama puluhan tahun terhadap Rohingya.
Pemerintah Myanmar mengatakan, sebelum kudeta 1 Februari, bahwa mereka akan memulangkan pengungsi Rohingya di Bangladesh. Tetapi pengurungan selama sembilan tahun terhadap 130.000 warga Rohingya di negara bagian Rakhine tengah membuat klaim militer itu diragukan, kata kelompok hak asasi manusia.