Home LiCAS.news Bahasa Indonesia News (Bahasa) Ancaman terhadap kebebasan berbicara di Malaysia terus meningkat

Ancaman terhadap kebebasan berbicara di Malaysia terus meningkat

Human Rights Watch mengatakan para aktivis dan pengkritik pemerintah diinterogasi oleh polisi dan berpotensi menghadapi tuntutan

Otoritas Malaysia semakin sering menggunakan investigasi kriminal untuk melecehkan para wartawan, koordinator protes, dan pengkritik pemerintah, Human Rights Watch (HRW) melaporkan minggu ini.

Lembaga pemantau hak asasi manusia global itu mengatakan para aktivis dan pengkritik pemerintah telah diinterogasi oleh polisi dan berpotensi akan dituntut.

“Penggunaan undang-undang pidana yang terus meningkat oleh pemerintah Malaysia untuk menargetkan pengkritik menunjukkan penurunan drastis dari rasa hormat terhadap standar hak asasi manusia,” kata Linda Lakhdhir, penasihat hukum HRW Asia.




Organisasi itu mengutip kasus wartawan Malaysia yang diperiksa karena dikatakan “menyebarkan rumor” atas liputan mereka tentang tuduhan kebrutalan polisi.

Para wartawan sedang diselidiki di bawah ketentuan hukum pidana yang mengkriminalkan “penyebaran rumor yang dapat menyebabkan ketakutan dan kekhawatiran bagi publik.”

Hukum Pidana Malaysia, Undang-Undang Penghasutan, Undang-Berkumpul secara Damai, dan Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia semuanya berisi -apa yang digambarkan HRW sebagai- ketentuan yang terlalu luas dan tidak jelas yang memungkinkan polisi untuk menyelidiki atau menangkap orang untuk berbagai kegiatan atau pidato yang tidak disukai pemerintah .

Kasus-kasus terbaru menargetkan warga karena menyelenggarakan protes publik, melaporkan tuduhan pelecehan oleh polisi, menggambar kartun, dan mengunggah daftar yang ironis di Spotify.

“Dalam demokrasi yang menghargai hak, pemerintah tidak memandang jurnalisme sebagai kejahatan dan menerima kritik dan sindiran sebagai kebebasan berbicara,” kata Lakhdhir.

- Newsletter -

Melaporkan tuduhan pelanggaran pemerintah adalah bagian dari pekerjaan jurnalis, katanya.

Koran arus utama Malaysia ditampilkan di kios penjualan koran di Kuala Lumpur, September 2019. (Foto shutterstock.com)

Pada tanggal 23 April, polisi menangkap seniman grafis dan aktivis Fahmi Reza terkait dengan daftar Spotify bertema kecemburuan yang dia buat sebagai tanggapan satir terhadap tweet kontroversial oleh ratu Malaysia.

Saat ini dia sedang diselidiki berdasarkan Undang-Undang Penghasutan Malaysia, yang mengkriminalisasi setiap pidato dengan kecenderungan untuk menimbulkan ketidakpuasan terhadap atau menimbulkan kebencian atau penghinaan terhadap anggota keluarga kerajaan Malaysia.

Jika terbukti bersalah, Fahmi terancam dihukum tujuh tahun penjara.

Otoritas Malaysia juga telah membuka penyelidikan kriminal terhadap kartunis politik Zulfikar Anwar Ulhaque, yang dikenal sebagai Zunar, atas gambar satir yang mengejek menteri utama Kedah atas keputusannya untuk membatalkan liburan untuk menandai hari raya Hindu.

Sejumlah koordinator protes damai baru-baru ini juga menjadi sasaran penyelidikan polisi.

Polisi telah memanggil delapan orang yang berpartisipasi dalam acara “buka puasa” pada 30 April di Kuala Lumpur untuk memprotes penangguhan parlemen Malaysia yang terus berlanjut.

Kedelapan orang itu, termasuk beberapa politisi oposisi, sedang diselidiki berdasarkan pasal 9 (5) dari Undang-Undang Berkumpul secara Damai karena tidak memberitahu pihak berwenang tentang acara tersebut.

Pada awal Mei, polisi menanyai beberapa orang, termasuk anggota parlemen oposisi Fahmi Fadzil dan Sevan Doraisamy, direktur eksekutif kelompok hak asasi manusia Suara Rakyat Malaysia, atas partisipasi mereka dalam aksi solidaritas itu.

Polisi juga memanggil setidaknya empat orang, termasuk tiga anggota oposisi di parlemen, karena berpartisipasi dalam protes damai menentang penundaan komisi pemilihan dalam menerapkan pengurangan usia pemilih menjadi 18 tahun.

“Penyelidikan itu cukup buruk, dan Malaysia memiliki undang-undang yang tidak jelas dan terlalu luas sehingga memungkinkan polisi mengejar hampir semua orang untuk apa saja yang mereka lakukan atau katakan,” kata Lakhdhir.

“Pemerintah harus berhenti memperlakukan kritik sebagai kejahatan dan mengubah atau mencabut undang-undang yang melecehkan yang digunakan untuk melawan ucapan kritis dan aksi damai.”

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest