Home LiCAS.news Bahasa Indonesia News (Bahasa) Para uskup Filipina ingatkan bahaya yang mengintai negara itu

Para uskup Filipina ingatkan bahaya yang mengintai negara itu

Konferensi Waligereja Katolik Filipina mengingatkan umat beriman bahwa peta politik di negara itu semakin tidak jelas pasca pemberlakuan undang-undang anti-terorisme yang baru.

“Meskipun wajah demokrasi masih ada dan lembaga demokrasi kita masih terus berfungsi, kita sudah seperti katak yang berenang di dalam panci yang pelan-pelan terisi air yang mendidih,” bunyi surat pastoral para uskup yang dirilis 19 Juli.

UU Anti Terorisme 2020 atau Republic Act 11479 diberlakukan tengah malam pada 18 Juli bahkan tanpa adanya peraturan dan ketentuan implementasi.

Di bawah hukum ini, dewan anti-teror dapat memberikan kuasa untuk menangkap terduga teroris tanpa surat perintah dan menahan mereka selama 24 hari.




Pengacara hak asasi manusia telah mengecam undang-undang itu karena definisi tentang terorisme yang sangat luas dan mengatakan undang-undang ia rentan penyalahgunaan.

Di bawah hukum tersebut teroris didefinisikan sebagai mereka yang: dianggap mengintimidasi masyarakat umum, membuat suasana atau menyebarkan pesan ketakutan, memprovokasi atau mempengaruhi pemerintah atau lembaga internasional dengan intimidasi, secara serius mengacaukan atau menghancurkan struktur politik, ekonomi, atau sosial negara, menciptakan keadaan darurat publik, dan secara serius merusak keselamatan publik.

Teroris adalah mereka yang mengancam, merencanakan, berkonspirasi untuk merencanakan dan menghasut untuk melakukan tindakan terorisme.

- Newsletter -

Protes juga bisa menjadi tindakan terorisme jika ditemukan adanya maksud “untuk menyebabkan kematian atau kerusakan fisik yang serius bagi seseorang, membahayakan kehidupan seseorang, atau untuk menciptakan risiko serius bagi keselamatan publik.”

Terduga teroris berisiko aset mereka dibekukan setelah ditemukannya kemungkinan tujuannya oleh dewan anti-teror.

Hingga saat ini, ada sembilan petisi menentang undang-undang anti-terorisme yang tertunda di Mahkamah Agung negara itu dan lebih banyak lagi yang akan diajukan dalam beberapa hari mendatang.

Para pengamat dan kelompok hak asasi manusia mengatakan undang-undang anti-terorisme yang baru dapat digunakan sebagai senjata pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte untuk menargetkan lawan dan meredam kebebasan berbicara.

Anggota Gerakan Menolak RUU Anti-Terorisme mengadakan demonstrasi di dalam kampus Universitas Filipina di Kota Quezon untuk menyerukan pembatalan undang-undang anti-terorisme baru pada 7 Juli. (Foto oleh Jire Carreon)

Pemimpin Gereja khawatir

Para uskup Katolik di negara itu menyamakan situasi Filipina dengan situasi di Hong Kong di mana orang-orang memprotes Undang-Undang Keamanan Nasional baru yang diberlakukan oleh Tiongkok.

“Seperti [orang-orang Hong Kong], kami juga khawatir akan  undang-undang Anti-Teror tahun 2020 yang ditandatangani baru-baru ini,” kata para uskup.

Para uskup Filipina menyatakan “tidak percaya” dengan cara RUU anti-terorisme “kontroversial” itu disahkan menjadi undang-undang di Kongres.

“[Para legislator] bahkan tidak peduli bahwa banyak orang yang mereka wakili menentangnya,” tambah wali gereja itu.

Dalam surat pastoral, para uskup mencatat bahwa suara-suara yang menolak itu kuat “tetapi mereka tetap tidak diindahkan.”

“Sayangnya, tekanan politik dari atas tampaknya lebih membebani legislator kita daripada suara-suara dari bawah,” tambah para uskup.

Para pemimpin gereja mengatakan banyak elemen dari undang-undang baru itu “menindas dan tidak konsisten dengan Konstitusi kita” dan menimbulkan “ancaman serius terhadap kebebasan mendasar semua warga Filipina yang menginginkan damai.”

Seperti di Hong Kong, otoritas Filipina sebelumnya telah menepis kekhawatiran ini sebagai “tidak berdasar” dan meyakinkan bahwa orang Filipina tidak perlu takut jika mereka bukan teroris.




Rentetan pelanggaran

Akan tetapi para uskup menyebutkan contoh-contoh yang merongrong jaminan pemerintah.

“Apakah kita belum pernah mendengar orang yang aktif dalam advokasi sosial yang dituduh komunis?” kata mereka.

“Apakah kita sudah melupakan para uskup, imam, dan religius yang termasuk di antara mereka yang dituduh [oleh polisi] dengan kejahatan penghasutan?” tambah uskup.

“Apakah kita tidak mengetahui ribuan orang yang terbunuh dalam operasi polisi hanya berdasarkan dugaan keterlibatan dalam kriminalitas dan obat-obatan terlarang?”

“Apakah kita belum pernah mendengar tentang pekerja media yang dituduh melakukan kriminal?”

Para uskup juga mengutip penutupan jaringan televisi ABS-CBN setelah gagal mendapatkan waralaba siaran baru dari pemerintah.

“Apakah kita tidak merasakan efek dari penutupan jaringan siaran terbesar di negara kita, ABS-CBN, setelah ditolak perpanjangan ijin penyiarannya?”

“Apakah tidak jelas bagi kita bagaimana pola intimidasi ini menciptakan suasana yang merusak kebebasan berekspresi di negara kita?” kata para uskup.

Anggota kelompok Satu Iman, Satu Bangsa, Satu Suara mengadakan demonstrasi di Manila pada 2 Juni untuk menolak  undang-undang anti-teror yang diusulkan di Kongres. (Foto oleh Mark Saludes)

Dukungan warga

Para pemimpin gereja mengatakan mereka “mendapat penghiburan” dari permohonan yang diajukan warga ke Mahkamah Agung, yang mempertanyakan konstitusionalitas undang-undang anti-terorisme.

“Akankah tingkat tertinggi peradilan kita menegaskan independensinya, atau akankah mereka juga menyerah pada tekanan politik?”

Para pemimpin gereja mengatakan beberapa ketentuan undang-undang itu mengingatkan mereka tentang hari-hari pertama penerapan darurat militer pada tahun 1972 “yang pada akhirnya menyebabkan jatuhnya demokrasi dan munculnya rezim diktator.”

Para uskup menyatakan keprihatinan mereka bagaimana hukum itu dalam waktu yang belum lama terlalu sering digunakan sebagai senjata untuk menekan perbedaan pendapat dan oposisi yang sah.

Mereka mengatakan bahwa mereka “mendapat dorongan dari keyakinan bahwa di berbagai lembaga pemerintah kita masih memiliki banyak orang yang memiliki niat baik yang hatinya ada di tempat yang tepat, dan yang tetap objektif serta berpikiran mandiri.”

“Kami tidak memiliki apa pun selain kekaguman terhadap para pelayan publik ini di semua cabang pemerintahan yang bertindak sesuai ketetapan hati nurani dan tidak membiarkan diri mereka diintimidasi atau dicegah oleh tekanan politik dari melakukan tugas-tugas yang diamanatkan oleh konstitusi mereka,” kata para uskup.

“Kami hanya bisa berharap akan ada lebih banyak orang seperti mereka,” kata para uskup.

“Mereka adalah elemen penting untuk penguatan institusi pemerintah kita, dan merupakan kunci penting untuk sistem demokrasi yang stabil dan fungsional,” ungkap para pemimpin gereja itu.

Mereka meminta umat Filipina untuk berdoa disaat negara itu terus menghadapi “keterpurukan akibat pandemi COVID-19, serta perkembangan politik baru-baru ini yang telah memecah belah negara kita.”

Para uskup Katolik mengeluarkan pernyataan itu seminggu sebelum Pidato Kenegaraan kelima Duterte.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest