Home LiCAS.news Bahasa Indonesia News (Bahasa) Kelompok agama Filipina desak perundingan damai

Kelompok agama Filipina desak perundingan damai

Gereja dan kelompok perdamaian Filipina mendesak pemerintah dan kelompok pemberontakan komunis paling tua di Asia untuk melanjutkan kembali perundingan yang membeku.

Lebih dari 200 imam, biarawati, dan aktivis menghadiri forum di Manila untuk menunjukkan “harapan” beberapa hari setelah pejabat keamanan Presiden Rodrigo Duterte menolak negosiasi perdamaian karena dianggap tidak perlu.

Jose Ma Sison, pendiri Partai Komunis Filipina (CPP) yang diasingkan, juga menyebut prospek perdamaian di bawah pemimpin nasional  sangat “suram” dalam sebuah pesan video.

Sementara kedua belah pihak mengadakan gencatan senjata unilateral selama liburan Desember dan Tahun Baru, kata perang meningkat kembali pada hari-hari awal 2020.

Para pejabat militer mengumumkan untuk kesekian kalinya tenggat waktu untuk penyerahan total CPP, Tentara Rakyat Baru, dan Front Demokrasi Nasional Filipina.

Kongres juga menekan undang-undang anti-teror baru yang yang tampaknya menargetkan jaringan legal gerilyawan komunis.

Duterte, yang menegaskan kembalinya Sison sebagai syarat untuk pembicaraan, harus mengarahkan negosiator veteran untuk menghadiri putaran kedua pembicaraan tidak resmi yang dijadwalkan pada minggu kedua atau ketiga Januari.

- Newsletter -

Tetapi bagi para religius yang sering bekerja di garis depan konflik, “harapan tidak bisa dinegosiasikan.”

‘Tergantung pada kita’

“Kembali ke meja perundingan dan selesaikan apa yang Anda mulai,” desak ribuan penandatangan pernyataan persatuan yang menyerukan perdamaian.

“Tuntutan dan prasyarat yang tidak masuk akal hanya dapat menunda dimulainya kembali perundingan.”

“Sejarah telah membuktikan kepada kita bahwa berkali-kali, ketika ada keributan yang muncul di antara warga, membuat orang-orang di pemerintahan berhenti dan merenungkan, untuk melihat bagaimana situasi sebenarnya,” kata Uskup Deogracias Iñiguez Jr, mantan uskup Kalookan, di sela-sela forum perdamaian.

“Ini benar-benar tergantung kita,” tambahnya.

“Sudah waktunya untuk mengangkat panji-panji perdamaian di semua lini,” kata Uskup Agung Antonio Ledesma dari Cagayan de Oro di Filipina selatan.

“Mindanao telah menyaksikan begitu banyak pertumpahan darah. Kita semua adalah saudara dan saudari yang tinggal di tanah yang sama, ”katanya.

Suster Elenita Belardo, mantan koordinator nasional Misionaris Pedesaan Filipina, secara pribadi merasakan penderitaan akibat tindakan keras negara.

Biarawati Gembala Baik itu baru saja mengirim jaminan pada bulan Desember untuk kasus sumpah palsu yang diajukan oleh Penasihat Keamanan Nasional Hermogenes Esperon.

Tetapi Suster Belardo yang berusia 80 tahun, yang telah menghabiskan lebih dari setengah abad bekerja dengan kaum miskin pedesaan di negara itu, mengatakan kepada LiCAS:

“Bahkan ketika semua orang menabuhkan genderang perang, kita harus membela perdamaian,” katanya.

“Saya selalu percaya bahwa dialog tidak pernah membuang-buang waktu,” kata Pastor Wilfredo Dulay dari Missionary Disciples of Jesus dan pemimpin kelompok ekumenis Religious Discernment Group.

“Kita harus berasumsi, meskipun ada banyak keraguan tentang hal itu, bahwa masih ada beberapa orang yang berkemauan baik di pemerintahan,” Pastor Dulay menambahkan.

Sekelompok biarawati mengadakan upacara menyalakan lilin untuk menyerukan perdamaian. (Foto oleh Jire Carreon)

Kemenangan burung elang

Duterte mengutus Menteri Tenaga Kerja Silvestre Bello dan Hernani Braganza pada Desember tahun lalu untuk mengadakan pembicaraan informal di Utrecht, tempat Sison menetap di Belanda.

Mereka bertemu dengan ketua NDFP Fidel Agcaoili dan penasihat senior Luis Jalandoni pada 19-21 Desember.

Gencatan senjata sepihak selama liburan menimbulkan harapan untuk lebih banyak pembicaraan yang mengarah pada dimulainya kembali perundingan resmi yang diakhiri Duterte pada 23 November 2017.

Tapi sekarang, harapan meredup. Para pejabat militer menolak babak baru pembicaraan perdamaian. Penasihat Presiden untuk Proses Perdamaian, Carlito Galvez Jr., menyebut rancangan Perjanjian Komprehensif tentang Reformasi Ekonomi Sosial (CASER), yang dikerjakan oleh para negosiator dari pemerintahan sebagai “penyerahan integritas dan kedaulatan pemerintah nasional.”

Duterte menunjuk purnawirawan militer setelah mengakhiri pembicaraan.

Presiden mungkin telah membuat tawaran baru, tetapi penasihat perdamaian utamanya mengatakan mengadopsi perjanjian tersebut dan Perjanjian Perdamaian Sementara, yang dilakasanakan oleh perwakilan kedua belah pihak, akan melanggar konstitusi negara tersebut.

Komentar itu jelas. Perjanjian tersebut menangani semua akar sosio-ekonomi dari konflik dan mencakup banyak janji kampanye Duterte, yang sebagian besar dibuang ketika sudah menjadi presiden.

Mantan negosiator Braganza, yang telah menghabiskan selama 15 tahun bersama berbagai pemerintahan yang duduk di seberang meja dari komunis, mundur.

“Segala sesuatu dalam dokumen itu diabadikan dalam Konstitusi 1987,” tegasnya. “Keadilan sosial. Orang harus membacanya. ”

“Khianat? Wow. Tuhanku. Kami ditunjuk oleh presiden. Semua tindakan kami disetujui oleh presiden. Kami tidak menyembunyikan apa pun, ”katanya di forum.

Pejabat dari berbagai lembaga pemerintah bertindak sebagai konsultan untuk panel perdamaian pemerintah, katanya. Para akademisi terbaik di negara itu telah membantu dalam meneliti dan menyusun perjanjian.

“Selain mengatasi ketidakadilan, CASER yang kami negosiasi, akan memacu ekonomi. Reformasi agraria terkait dengan pembangunan ekonomi, komoditas yang sangat dibutuhkan oleh rakyat Filipina, yang menambahkan lapangan pekerjaan. Itulah pemahaman saya, ”kata Braganza.

“Semua orang tahu itu. Kemiskinan dan ketidakadilan memacu konflik. Perang ini telah berlangsung selama 50 tahun. Kita harus mengakhirinya dengan mengatasi akarnya, ”tambahnya.

“Dan sebagai catatan, Front Demokratik Nasional tidak pernah meminta wilayah,” tegasnya. “Bahkan pot bunga.”

“Dan tidak ada dalam semua dokumen itu tentang pemerintahan koalisi,” kata Braganza. “Saya tidak tahu mengapa mereka terus mengulanginya.”

Bahkan ketika negosiator veteran menunjukkan tingkat frustrasi ini, harapan memang redup.

Tetapi Pastor Dulay mengatakan, “Kita harus melampaui administrasi ini. Administrasi ini tidak akan bertahan selamanya. Masih ada masa depan yang dinanti-nantikan. ”

“Saya bisa memahami adanya kehilangan harapan, tetapi sebagai orang Kristen kita harus percaya bahwa entah bagaimana, kebaikan akan menang,” kata imam itu.

“Apa yang dapat dilakukan orang Kristen untuk menciptakan perdamaian adalah bahwa kita tidak pernah kehilangan harapan,” katanya.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest