Home LiCAS.news Bahasa Indonesia Features (Bahasa) Ancaman polusi udara di Asia Tenggara semakin besar

Ancaman polusi udara di Asia Tenggara semakin besar

Ornsiree Tangsajjatham sudah lama berusaha menghindari untuk melakukan apa pun yang mengharuskannya keluar rumah.

Jika dia terpaksa keluar rumah, dia harus selalu memakai masker untuk melindungi diri dari partikel PM2.5 – partikel kecil yang mencemari udara.

“Tidak menyenangkan jika keluar rumah memakai masker. Bagi orang lain, mengenakan masker untuk mencegah partikel PM2.5 tidak nyaman. Tapi percayalah, ini jauh lebih buruk bagi orang-orang seperti kami – pasien dengan paru-paru yang lemah, “kata wanita Thailand berusia 35 tahun itu, yang menderita kanker paru-paru stadium empat yang disebabkan oleh mutasi gen ALK.




Ornsiree tinggal di ibu kota Thailand, Bangkok, di mana masalah pencemaran udara yang terus meningkat menambah masalah kesehatannya.

Dia tidak sendirian.

Taksaorn Kuropakornpong, seorang mahasiswa Thailand, mengalami alergi terhadap debu dan menderita polusi udara setiap hari.

“Saya pikir tahun ini lebih buruk, karena alergi saya sangat buruk, meskipun gaya hidup saya tetap sama. Baru-baru ini saya harus pergi ke rumah sakit karena saya tidak bisa bernafas, ”katanya.

- Newsletter -

Disaat ekonomi Asia Tenggara terus bertumbuh, orang-orang di kawasan ini semakin harus berurusan dengan dampak lingkungan.

Semakin banyak kendaraan di jalan, meningkatnya permintaan energi (sebagian dipenuhi oleh pembangkit listrik batubara), dan zona industri yang terus tumbuh adalah beberapa penyebab utama polusi udara.

Seorang wanita menutup mulutnya untuk melindungi diri dari polusi udara di Bangkok, Thailand pada 20 April 2018. (Foto shutterstock.com).

Ornsiree harus berusaha keras untuk melindungi diri.

“Jika saya harus pergi ke luar, saya harus memakai masker wajah yang dapat memblokir partikel PM 2.5,” katanya.

Dia juga terpaksa selalu menutup pintu dan jendela rumahnya, menggunakan pembersih udara, menjaga kebersihan rumah, dan terus-menerus memantau gejalanya seandainya dia mengalami keadaan yang lebih buruk.

Bagi orang-orang dengan masalah kesehatan seperti mereka, kondisi di Bangkok menjadi sangat sulit dalam dua bulan terakhir, karena kualitas udara memburuk.

Pada bulan Januari, ketika kualitas udara di Bangkok menjadi yang terburuk ketiga di dunia berdasarkan aplikasi pemantauan polusi populer Air Visual, lebih dari 400 sekolah diperintahkan ditutup untuk melindungi anak-anak dari kabut asap.

Pada 20 Februari, selimut asap yang tidak sehat menutupi ibu kota Thailand itu, di mana 50 dari 58 stasiun kualitas udara di kota tersebut melaporkan tingkat PM 2.5 yang tidak aman, menurut laporan Bangkok Post.

Situasi di Filipina, Kamboja, atau Vietnam tidak lebih baik.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, Filipina memiliki jumlah kematian terkait polusi udara tertinggi ketiga pada 2018.

Tahun itu, 45,3 dari setiap 100.000 orang Filipina meninggal karena udara kotor.

Hanya China dan Mongolia yang memiliki tingkat kematian lebih tinggi.

Tampak lalu lintas padat di Manila, Filipina pada 26 Mei 2019. (Foto shutterstock.com)

Di Vietnam, salah satu ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di dunia, sebuah studi baru-baru ini oleh National University of Economics menunjukkan bahwa kerugian ekonomi yang terkait dengan pencemaran udara mencapai angka yang mengejutkan sekitar $10,8 menjadi $13,2 miliar per tahun, situs berita Vietnam Vietnamplus melaporkan pada Januari .

Artikel yang sama melaporkan 71.000 kematian di Vietnam yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan, sekitar  50.000 di antaranya terkait langsung dengan pencemaran udara.

Di Kamboja, kebanyakan orang mengakui bahwa polusi udara menjadi masalah yang lebih besar setiap tahun, di mana pabrik, asap kendaraan, dan pembakaran sampah ilegal merupakan beberapa faktor utama.

Banyak warga Kamboja percaya bahwa pemerintah mereka tidak berbuat cukup untuk mengatasi masalah tersebut. Khat Sothy, misalnya, membandingkan krisis polusi dengan wabah virus corona baru-baru ini.

Sejauh ini, hanya satu orang yang terinfeksi virus corona di negara tersebut. Pemerintah Kamboja tidak melihatnya sebagai masalah serius, bahkan karena banyak orang di negara itu meyakini jumlah yang terinfeksi lebih tinggi.



Sothy percaya bahwa mendidik masyarakat menjadi kunci utama.

“Ketika kualitas udara buruk, pemerintah Kamboja tidak mengumumkan apa pun tentang polusi udara,” kata Sothy kepada LiCAS.news. “Bukannya membantu orang-orang yang mengalami masalah kesehatan, pemerintah malah menyalahkan warga karena menyebabkan kepanikan dan rasa takut yang tidak perlu.”

Akibatnya, seorang editor berusia 40 tahun di sebuah stasiun radio lokal di Phnom Penh memutuskan untuk melalukan sesuatu.

Bersama dengan sekelompok teman, baru-baru ini dia membagikan hampir 2.000 masker wajah secara gratis.

“Kami mendistribusikannya karena kami ingin orang-orang tahu bagaimana melindungi diri mereka, dari virus corona dan juga dari polusi udara,” katanya.

Para ahli mengatakan bahwa diperlukan lebih banyak langkah untuk mengatasi polusi udara di Asia Tenggara.

Salah satunya adalah dengan menghentikan petani membakar tanaman mereka setelah panen, sesuatu yang telah dilakukan jutaan petani di regio ini selama bertahun-tahun. Hal itu dilakukan karena merupakan cara yang murah dan efisien untuk membersihkan sawah setelah panen. Namun, metode ini menyebabkan asap tebal dan udara yang tercemar – terkadang mencapai ratusan mil jauhnya dari api.

Di Kamboja dan Thailand, pembakaran tanaman seperti itu sangat buruk pada bulan Januari dan Februari.

Seorang petani Thailand membakar jerami di akhir musim panen, yang berkontribusi terhadap polusi udara di negara itu. (Foto shutterstock.com)

Diane Archer, seorang peneliti di Stockholm Environment Institute di Bangkok, mengatakan bahwa salah satu hal yang perlu dilakukan adalah membuat metode pertanian yang murah dan tidak memerlukan pembakaran tanaman oleh petani.

Archer juga mengatakan bahwa Thailand harus mempertimbangkan untuk membangun lebih banyak taman umum dan meningkatkan biaya atas penggunaan mobil.

“Hal ini bisa dilakukan dengan menaikkan pajak untuk bahan bakar atau mobil baru, biaya tol lebih tinggi, atau memungut pajak tempat parkir, ada banyak pilihan yang diterapkan di kota-kota di seluruh dunia untuk memungkinkan hal ini. Dan kendaraan yang tidak memenuhi standar emisi tidak boleh lagi keluar di jalan, termasuk kendaraan angkutan umum, ”katanya kepada LiCAS.news.

Dalam upaya memerangi polusi, Kementerian Pertanian dan Koperasi Thailand baru-baru ini bergandengan tangan dengan sektor swasta dalam Proyek Kota Hijau (Green City Project).

Proyek ini mencakup pembagian satu juta tanaman kepada penduduk di Bangkok untuk membantu memerangi polusi udara.

“Ini adalah proyek percontohan dan kami ingin memperluasnya ke kota-kota di seluruh negeri. Kami ingin menanam lebih banyak pohon di taman dan mengajak masyarakat untuk bergabung dengan kami,” kata Chalermchai Sri-on, menteri Pertanian dan Koperasi.

Pihak berwenang di Bangkok juga berencana untuk memasang penjernih udara di atas bus umum, meskipun banyak warga Thailand skeptis tentang efektivitas langkah tersebut.

Namun para pengamat berpendapat bahwa membuat semua bus umum listrik akan menjadi solusi yang tepat dan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas udara di kota.

Sementara itu, di ibukota Vietnam, Hanoi, salah satu kota paling tercemar di Asia Tenggara, pemerintah ingin mengambil langkah yang lebih drastis dengan melarang penggunaan sepeda motor pada tahun 2030.

Rencana larangan sepeda motor sangat kontroversial, mengingat kendaraan roda dua menjadi moda transporasi utama sebagian besar penduduk Hanoi untuk pergi kerja. Setiap hari, 5 juta sepeda motor turun ke jalan-jalan kota.

Namun pihak berwenang Vietnam percaya bahwa pada saat larangan itu diberlakukan, transportasi umum yang baik sudah tersedia.

Untuk saat ini, sebagian besar penduduk Asia Tenggara hanya bisa berharap untuk perbaikan nyata.

* Catatan: Narasumber yang diwawancarai, Ornsiree Tangsajjatham, meninggal seminggu setelah LiCAS.news mewawancarainya. Dia menderita kanker paru-paru.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest