Para pemimpin Gereja Katolik di seluruh Asia memperingatkan dampak penerapan Undang-Undang Keamanan Nasional baru di Hong Kong, yang dapat membahayakan kebebasan beragama atau berkeyakinan.
“Undang-undang ini berpotensi merusak kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, kebebasan media dan kebebasan akademik,” kata Federasi Konferensi Waligereja Asia (FABC).
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis ke media pada 2 Juli, Kardinal Charles Maung Bo dari Yangon, presiden FABC, menyerukan kepada pengikuti agama-agama untuk dengan tekun berdoa bagi Hong Kong dan bagi Tiongkok.
“Saya khawatir bahwa undang-undang itu mengancam kebebasan dasar dan hak asasi manusia di Hong Kong,” kata Kardinal Bo dalam pernyataan tertanggal 1 Juli.
Dia menggambarkan penerapan Undang-Undang Keamanan Nasional baru di kota itu “dilakukan tanpa konsultasi sistematis dengan masyarakat umum.”
“Undang-undang ini secara serius menggerus kebebasan Hong Kong dan menghancurkan otonomi tingkat tinggi kota tersebut yang dijanjikan di bawah prinsip Satu Negara, Dua Sistem, ” kata Cardinal Bo.
Pemimpin gereja Katolik itu mengatakan bahwa walaupun undang-undang keamanan nasional “tidak dengan sendirinya salah,” namun harus “diimbangi dengan perlindungan hak asasi manusia, martabat manusia dan kebebasan dasar.”

Dalam pernyataannya, prelatus itu mengatakan bahwa meskipun jika kebebasan beribadat tidak secara langsung atau segera terpengaruh, undang-undang keamanan yang baru itu … “dapat berakibat, misalnya, pada pengawasan pada pewartaan agama, kriminalisasi terhadap pertemuan-pertemuan doa, dan desekrasi tempat-tempat ibadah yang menawarkan perlindungan atau mendukung pengunjuk rasa.”
“Apakah para pemimpin agama sekarang akan dikriminalisasi karena berkhotbah tentang martabat manusia, hak asasi manusia, keadilan, kebebasan, kebenaran? Kita telah belajar dari pengalaman yang berat bahwa ketika kebebasan secara keseluruhan dirusak, kebebasan beragama atau berkeyakinan – cepat atau lambat – akan terpengaruh.“”
“Doa saya adalah agar undang-undang ini tidak akan memberikan izin kepada pemerintah untuk mencampuri urusan internal organisasi keagamaan dan layanan yang mereka berikan kepada masyarakat umum,” kata kardinal.
Dia menyerukan “kepastian yang jelas” bahwa keterlibatan lembaga keagamaan dalam urusan sosial “tidak boleh diganggu” karena ketentuan dalam Hukum Dasar Hong Kong menjamin kebebasan berkeyakinan.
“Sangat penting bahwa penyebab-penyebab mendasar dari kerusuhan harus diperhatikan, dan bahwa reformasi dan kompromi yang berarti harus dicapai,” katanya. Dia menambahkan bahwa undang-undang keamanan nasional yang baru “mengancam akan memperburuk ketegangan, bukan memberikan solusi.”

Dalam sebuah pernyataan sebelumnya, Kardinal Joseph Zen, uskup emeritus Hong Kong, memperingatkan bahwa undang-undang baru itu dapat mengarah pada pengekangan kebebasan beragama.
Dia juga menyebut Vatikan yang “tetap diam” atas situasi tersebut, dan mengatakan bahwa Takhta Suci mungkin masih berharap untuk membangun hubungan diplomatik dengan Tiongkok.
Dalam sebuah video yang diunggah di media sosial pada 30 Juni, prelatus yang sudah pensiun itu mengatakan dia “tidak percaya” adanya perlindungan kebebasan beragama dalam undang-undang keamanan yang baru.
Perluasan cengkraman Beijing
Undang-undang keamanan nasional yang baru mulai berlaku pada 30 Juni, menjelang ulang tahun ke-23 penyerahan Hong Kong dari pemerintahan Inggris ke Tiongkok.
Rancangannya dirahasiakan dari publik sampai hukum itu diberlakukan dan tampaknya menawarkan pedoman kepada pemerintah, pengadilan, dan polisi untuk meredam protes anti-pemerintah yang mengguncang kota itu tahun lalu.
Undang-undang baru memperluas kekuasaan otoritas lokal dan daratan untuk menyelidiki, menuntut, dan menghukum para pembangkang. Hukum ini mengkriminalisasi mereka yang menghendaki pemisahan diri, tindakan subversif, terorisme, dan kolusi dengan kekuatan asing.
Mereka yang terbukti melakukan kejahatan-kejahatan itu menghadapi hukum seumur hidup di penjara.
Kegiatan-kegiatan seperti merusak angkutan umum dan layanan publik “untuk mengejar agenda politik” sekarang dapat dianggap sebagai terorisme.

Di bawah undang-undang tersebut, pemerintah pusat Tiongkok akan membangun pusat penegakan hukumnya sendiri di Hong Kong yang dijuluki sebagai “Kantor Penegak Keamanan Nasional.”
Kasus keamanan nasional yang melibatkan rahasia negara dapat diadili tanpa juri
Undang-undang itu juga menargetkan campur tangan asing di Hong Kong. Pemerintah komunis Tiongkok menyalahkan “kekuatan asing” yang ikut campur dalam urusan kota selama serangkaian aksi protes dalam beberapa bulan terakhir.
Hukum itu menyatakan bahwa siapa pun yang “mencuri, memata-matai, mendapat bayaran, atau secara tidak sah memberikan rahasia negara atau intelijen” kepada negara, lembaga, organisasi, atau individu asing, akan dihukum karena berkolusi dengan kekuatan asing.
Undang-undang tersebut juga menganggap suatu pelanggaran jika orang meminta kepada negara, lembaga, organisasi atau individu asing untuk menjatuhkan sanksi atau memblokade Hong Kong.
Bekerja dengan pemerintah asing, lembaga, organisasi atau individu untuk menghasut kebencian terhadap Hong Kong atau pemerintah pusat Tiongkok sekarang merupakan pelanggaran.
Pejabat tinggi Hong Kong, Kepala Eksekutif Carrie Lam, mengatakan undang-undang itu adalah langkah penting untuk mengakhiri kekacauan dan kekerasan yang telah terjadi selama beberapa bulan terakhir.
“Undang-undang keamanan nasional adalah perkembangan paling penting dalam mengamankan hubungan antara pemerintah pusat Tiongkok dan Daerah Administratif Khusus Hong Kong sejak penyerahan,” katanya.