Umat Katolik Thailand menyatakan berkomitmen untuk menjadi ‘suara bagi anak-anak yang belum lahir’ setelah anggota parlemen di negara itu memilih untuk mengizinkan aborsi dalam usia hingga 12 minggu kehamilan.
Caritas Thailand, Konferensi Waligereja Thailand (CBCT), Komunikasi Sosial Katolik Thailand (CSCT), Keuskupan Agung Bangkok, Komisi Katolik untuk Wanita dan Federasi Pemimpin Religius Thailand mengadakan seminar pada 28 Januari untuk menegaskan kembali posisi Gereja terhadap aborsi sehubungan dengan amandemen yang disahkan dalam sesi Senat larut malam tiga hari sebelumnya.
Parlemen memberikan suara mayoritas 166-7 untuk mengamandemen undang-undang yang mengkriminalisasi aborsi, mendukung rencana dari promotor amandemen untuk mengatasi aborsi yang tidak diatur oleh praktisi non-medis. Amandemen tersebut akan memungkinkan perempuan untuk melakukan aborsi dalam jangka waktu 12 minggu dengan alasan apapun.
Pastor Suthep Vanapongthipakorn, sekretaris Komite Konsultasi untuk Ekonomi dan Pemerintahan untuk Konferensi Waligereja Thailand, mengatakan kepada peserta seminar bahwa amandemen itu sebagai tanggapan atas pengaduan yang diajukan pada Februari 2020 bahwa undang-undang pidana tentang aborsi saat ini bertentangan dengan undang-undang konstitusional di mana laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama.
Dalam amandemen tersebut, aborsi setelah 12 minggu hanya akan diizinkan dalam kondisi tertentu dan jika tidak, akan dihukum hingga enam bulan penjara, atau denda hingga 10.000 baht ($ 334) atau keduanya. Berdasarkan amandemen itu, aborsi setelah usia 12 minggu akan diizinkan jika dokter bersertifikat menganggap ada risiko tinggi terhadap gangguan janin, bahaya bagi nyawa ibu, atau jika kehamilan adalah akibat pemerkosaan, penipuan, atau pemaksaan.
Dalam sambutannya, Pastor Suthep mengutip Paus Fransiskus: “Apakah sah mencabut nyawa manusia untuk menyelesaikan masalah?”
Suara anak yang belum lahir
Pastor Suthep merupakan satu dari 100 lebih umat Katolik dari seluruh Thailand yang berpartisipasi dalam seminar di CBCT dan melalui ZOOM dan Facebook Caritas Thailand.
Pastor Pairat Sriprasert, sekretaris jenderal Caritas Thailand, mengatakan bahwa organisasi Katolik di negara itu telah mendukung perempuan yang membutuhkan serta anak-anak terlantar.
“Sekolah-sekolah Katolik telah membantu masalah ini dan telah memberikan bantuan pendidikan kepada anak-anak terlantar,” kata Pastor Pairat.
Suster Anurak Chaiyapuek, RGS, direktur Panti Asuhan Dokmaipah untuk Perempuan dan Anak di Chiang Mai, mengatakan bahwa bayi yang belum lahir bukanlah masalahnya.
“Orang dewasalah yang tidak ingin menyelesaikan masalah mereka, jadi mereka memilih aborsi,” kata Suster Anurak, menambahkan “kami ingin menjadi suara dari bayi yang belum lahir.”
Pastor Chertchai Lertchitleka, direktur Rumah Sakit Camilian di Bangkok, juga menghadiri acara tersebut.
“Ada tangisan yang tidak terdengar dari bayi yang diaborsi. Kita harus menjadi suara bagi mereka yang tak bersuara, ” tegas Pastor Chertchai.
UU amandemen belum resmi menjadi undang-undang hingga pengumuman kerajaan dibuat yang diharapkan bulan depan.
Sebelum pemungutan suara Senat, Konferensi Waligereja Thailand meminta para uskup negara itu dan kepala kongregasi religius untuk bergabung dalam petisi yang menentang amandemen tersebut.
Para uskup mengatakan mereka sebelumnya telah menegaskan kembali posisi Gereja yakni menentang aborsi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Thailand, Senat, serta ketua Komite Tetap Senat untuk Agama, Moral, Etika, Seni, dan Budaya.
Jumlah umat Katolik di Thailand mencapai hampir 400.000 atau sekitar 0,5 persen dari 65 juta lebih penduduk negara itu. Aborsi juga dianggap sebagai dosa yang mirip dengan pembunuhan dalam Theravada Buddha yang dianut oleh mayoritas warga Thailand.
Tambahan dari Reuters