Home LiCAS.news Bahasa Indonesia News (Bahasa) Hukuman pemimpin oposisi Kamboja di pengasingan 'bermotif politik'

Hukuman pemimpin oposisi Kamboja di pengasingan ‘bermotif politik’

Hukuman terhadap pemimpin oposisi Kamboja Sam Rainsy dan sejumlah politisi oposisi lainnya di pengasingan dinyatakan bermotif politik oleh kelompok hak asasi internasional.

Human Rights Watch (HRW) meminta pemerintah Kamboja untuk membatalkan hukuman in absentia terhadap sembilan pemimpin Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP) yang telah dibubarkan atas tuduhan “berupaya melakukan kejahatan” dan “serangan”.

Pengadilan kota Phnom Penh menjatuhkan hukuman terhadap mereka pada 1 Maret. HRW mengatakan tuduhan kesembilan orang itu tidak berdasar. Mereka dituduh berusaha melakukan kudeta dengan mengumumkan rencana mereka untuk kembali ke Kamboja pada 9 November 2019.




Sebelum pengumuman kepulangan mereka ke Kamboja pada 9 November 2019, pihak berwenang menangkap setidaknya 125 mantan anggota CNRP dan aktivis yang menyatakan dukungan terhadap kepulangan mereka.

Pihak berwenang sudah membebaskan setidaknya 74 orang dengan jaminan pada Desember 2019, HRW mengatakan bahwa dakwaan tak berdasar itu tidak pernah dibatalkan. Sejak itu, semakin banyak yang ditangkap kembali dan ditahan.

Kelompok hak asasi itu mengatakan bahwa pelecehan dan penuntutan oleh pemerintah Perdana Menteri Hun Sen adalah bagian dari upaya berkelanjutan untuk mencegah CNRP berpartisipasi dalam pemilu mendatang dan dalam perpolitikan negara itu.

“Sidang yang bermotif politik dan hukuman selama beberapa dekade terhadap Sam Rainsy dan para pemimpin oposisi lainnya di pengasingan -sehingga membuat mereka tidak dapat kembali ke Kamboja- merupakan halaman yang telah disobek dari buku pedoman sang diktator, ” kata Phil Robertson, wakil direktur Asia untuk HRW.

- Newsletter -

Pengadilan menghukum Rainsy, penjabat pemimpin CNRP, 25 tahun penjara, dan wakil pemimpin Mu Sochua dan Eng Chhay Eang masing-masing 22 tahun. Pemimpin CNRP Tioulong Saumura, Men Sothavrin, Ou Chanrith, Ho Vann, Long Ry, dan Nuth Romduol masing-masing dihukum 20 tahun.

Mereka juga didenda dengan total mencapai 1,8 miliar riel (US $ 440.000) dan mencabut hak kesembilan orang itu untuk memilih, mencalonkan diri, dan melayani sebagai pejabat publik.

Perdana Menteri Kamboja Hun Sen (tengah) menghadiri Forum Ekonomi Dunia di Kuala Lumpur, Malaysia pada 2 Juni 2016. (Foto shutterstock.com)

memberikan informasi yang tidak akurat kepada organisasi non-pemerintah lokal yang memantau persidangan tentang tanggal sidang putusan. Mereka tidak pernah diberitahu tanggal sebenarnya sehingga tidak ada pemantau persidangan yang hadir di ruang sidang pada 1 Maret.

Kasus Kem Sokha

Berbeda dengan persidangan terhadap sembilan pemimpin oposisi politik yang melanggar hak proses hukum mereka, yang dilakukan tergesa-gesa, HRW mengatakan bahwa pihak berwenang terus menunda persidangan pemimpin CNRP Kem Sokha, yang dituduh melakukan yang tidak berdasar sejak September 2017.

Pengadilan Phnom Penh memberi tahu Sokha, yang dilarang melanjutkan perannya di CNRP, bahwa kasusnya tidak dianggap sebagai prioritas dan persidangannya kemungkinan tidak dilanjutkan pada 2021.

Dalam surat kepada pengacara Sokha tertanggal 2 Februari, hakim ketua Kouy Sao mengatakan bahwa pengadilan “sibuk dengan kasus kriminal dari terdakwa dan tertuduh yang ditahan di penjara yang penuh sesak.”

Oleh karena kesembilan pemimpin oposisi yang baru dihukum berada di luar negeri, penundaan kasus Sokha bertentangan dengan klaim pengadilan yang memprioritaskan pemeriksaan tersangka dalam penahanan praperadilan, kata HRW.

Uni Eropa turut mengutuk putusan terhadap sembilan pemimpin oposisi itu. UE mengatakan “terdakwa tidak diizinkan kembali ke negara mereka ntuk membela kasus mereka di pengadilan, yang merupakan pelanggaran hak proses hukum, yang telah dengantegas ditetapkan oleh undang-undang hak asasi manusia internasional.”

HRW telah mendokumentasikan puluhan kasus yang dituduhkan kepada lebih dari 75 tahanan politik, termasuk anggota oposisi, aktivis pemuda dan lingkungan, pemimpin serikat pekerja, dan jurnalis.

Banyak aktivis telah meninggalkan negara itu karena mereka takut ditangkap dan mencari perlindungan dengan mengungsi ke luar negeri.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest