Home LiCAS.news Bahasa Indonesia News (Bahasa) 1 dari 3 negara di dunia alami pelanggaran kebebasan beragama serius

1 dari 3 negara di dunia alami pelanggaran kebebasan beragama serius

Satu dari setiap tiga negara di dunia mengalami “pelanggaran berat” dalam hal kebebasan beragama, menurut laporan yang lembaga kepausan Aid to Church in Need (ACN) minggu ini.

Dalam ‘Laporan Kebebasan Beragama di Dunia (RFR) 2021’ lembaga itu melaporkan peningkatan pelanggaran dan penganiayaan di lebih dari 25 negara, dengan Tiongkok dan Myanmar memiliki catatan terburuk.

Laporan yang dipresentasikan di Roma pada 20 April itu mencatat bahwa kebebasan beragama tidak diindahkan di 62 (31,6 persen) dari 196 negara di dunia antara 2018 dan 2020.




Warga di 26 negara mengalami penganiayaan, dan di 95 persen dari mereka, situasinya menjadi lebih buruk selama periode peninjauan.

Laporan itu mencatat bahwa di beberapa negara, seperti Nigeria Turki, dan Pakistan, prasangka terhadap agama minoritas membuat penduduk setempat menyalahkan mereka atas pandemi COVID-19, yang mengakibatkan penolakan untuk mendapatkan bantuan medis.

Laporan setebal 800 halaman itu disiapkan oleh ACN, sebuah badan amal Katolik sedunia yang mempelajari pelanggaran kebebasan semua agama.

Ada 26 negara yang ditempatkan dalam kategori “merah” dalam laportan terbaru, yang menunjukkan adanya penganiayaan, dibandingkan dengan 21 negara pada saat laporan dua tahun lalu.

Sementara itu 36 negara ditempatkan dalam kategori “oranye” yang menunjukkan diskriminasi, dibandingkan dengan 17 dua tahun lalu.

- Newsletter -

Laporan tersebut menggambarkan diskriminasi sebagai pemberlakuan hukum atau aturan bagi kelompok tertentu saja dan tidak untuk semua, dan penganiayaan seperti adanya program aktif untuk menundukkan orang berdasarkan agama.

“Ada peningkatan yang signifikan dalam hal tingkat keparahan penganiayaan dan penindasan bermotif agama,” kata laporan itu.

Tiongkok, Myanmar terburuk

Laporan itu menyoroti Tiongkok dan Myanmar.

“Tindakan kekerasan yang dibangun oleh Partai Komunis China dalam beberapa tahun terakhir … sangat terencana, meluas, dan canggih secara teknologi,” kata laporan itu.

Pelanggaran paling mengerikan terjadi terhadap Muslim Uighur di Xinjiang “di mana kekejaman telah mencapai tingkat  sedemikian rupa sehingga semakin banyak pakar  yang menggambarkannya sebagai genosida,” katanya.

Workers walk by the perimeter fence in Xinjiang
Workers walk by the perimeter fence of what is officially known as a vocational skills education centre in Dabancheng in Xinjiang Sept. 4, 2018. (Photo by Thomas Peter/Reuters)

Laporan ACN mengatakan hierarki Katolik di Tiongkok “terus mengalami intimidasi dan penangkapan” meskipun ada kesepakatan penting yang ditandatangani pada 2018 antara Beijing dan Vatikan tentang pengangkatan uskup di Tiongkok.

Menurut lapran Reuters tahun lalu, dua biarawati yang bekerja di misi Vatikan di Hong Kong ditangkap ketika mereka pulang ke daratan untuk berkunjung.

Laporan itu menyoroti penyalahgunaan teknologi digital, jaringan siber, dan pengawasan massal oleh kecerdasan buatan dan teknologi pengenalan wajah.

Dikatakan bahwa penggunaan teknologi sangat nyata di daratan ,di mana Partai Komunis Tiongkok dilaporkan menindas kelompok-kelompok agama dengan bantuan 626 juta kamera pengintai dan pemindai ponsel pintar menggunakan teknologi AI.

Di Myanmar, laporan itu mengatakan Muslim Rohingya telah menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia paling kejam.

Tahun lalu, Pengadilan Internasional memerintahkan Myanmar untuk mengambil tindakan mendesak untuk melindungi Rohingya dari genosida. Namun pemerintah membantah tuduhan genosida.

Laporan ACN mengatakan kudeta militer pada 1 Februari “kemungkinan akan memperburuk keadaan bagi semua agama minoritas” di Myanmar, di mana sekitar 8 persen penduduknya beragama Kristen.

Para pekerja berjalan di dekat pagar pembatas fasilitas yang dikenal sebagai pusat pendidikan keterampilan kejuruan di Dabancheng di Xinjiang, 4 September 2018. (Foto oleh Thomas Peter/Reuters)

Pindah agama

Laporan tersebut juga mencatat bahwa di 42 negara (21 persen), meninggalkan atau mengubah agama seseorang bisa menyebabkan konsekuensi hukuman dan/atau sosial yang parah, mulai dari pengucilan dalam keluarga hingga hukuman mati.

Laporan tersebut mengecam meningkatnya penggunaan kekerasan seksual sebagai senjata melawan agama minoritas.

Menurut laporan itu, penganiayaan agama oleh pemerintahan otoriter juga meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Promosi supremasi etnis dan agama di beberapa negara mayoritas Hindu dan Buddha di Asia telah menyebabkan penindasan berkelanjutan terhadap warga minoritas, membuat anggotanya secara de facto menjadi warga negara kelas dua.

Laporan itu mengutip India sebagai “contoh paling ekstrim,” meskipun dikatakan “kebijakan serupa juga berlaku antara lain di Pakistan, Nepal, Sri Lanka, dan Myanmar.”

Sementara itu, di Barat, laporan itu mengatakan telah terjadi peningkatan “penganiayaan halus,” sebuah istilah yang diciptakan oleh Paus Fransiskus untuk menggambarkan bagaimana norma dan nilai budaya baru menimbulkan konflik yang mendalam dengan hak individu atas kebebasan hati nurani, dan membatasi agama “hanya di halaman gereja, sinagog atau masjid. “

Laporan baru itu juga membahas dampak pandemi virus corona terhadap hak menjalankan agama.

Dikatakan bahwa karena besarnya keadaan darurat, pemerintah menganggap perlu untuk memberlakukan tindakan luar biasa, dalam beberapa kasus menerapkan pembatasan yang tidak proporsional pada ibadah agama, dibandingkan dengan kegiatan sekuler lainnya.

Seorang pria dan anaknya dari minoritas Muslim Rohingya Myanmar berjalan melalui jalan rusak di Shah Porir Deep, di Teknaf di Cox’s Bazer, Bangladesh pada 11 September 2017. (Foto shutterstock.com)

Di negara-negara seperti Pakistan atau India, bantuan kemanusiaan tidak diberikan bagi agama minoritas, kata laporan itu.

Di media sosial, pandemi juga dijadikan alasan untuk menstigmatisasi kelompok agama tertentu karena dianggap menyebarkan atau menyebabkan pandemi.

Thomas Heine-Geldern, presiden eksekutif ACN internasional mengatakan bahwa meskipun PBB dan inisiatif internasional lainnya, “tanggapan komunitas internasional terhadap kekerasan berdasarkan agama, dan persekusi agama secara umum, dianggap terlalu sedikit, terlalu lamban.”

Pertama kali diterbitkan pada tahun 1999, laporan dua tahunan ACN menganalisis sejauh mana hak kebebasan beragama, yang dilindungi oleh Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dihormati untuk semua agama di 196 negara di dunia.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest