Lembaga kepausan Aid to the Church in Need (ACN) menyuarakan keprihatinan atas situasi hak asasi manusia di Afghanistan menyusul deklarasi ‘Emirat Islam Afghanistan’ oleh Taliban minggu ini.
Agensi itu memperingatkan bahwa kebebasan beragama “akan sangat terancam” di bawah rezim baru.
“Semua orang yang tidak mendukung pandangan ekstremis Islam Taliban berada dalam bahaya,” kata Thomas Heine-Geldern, presiden eksekutif ACN, dalam sebuah pernyataan pada 19 Agustus.
Ia mengatakan bahwa pengambilalihan kendali atas Afganistan oleh Taliban dan mengubah nama negara, “kita memperkirakan bahwa … kebebasan yang diperoleh dengan susah payah untuk hak asasi manusia, termasuk kebebasan beragama yang sudah relatif baik selama 20 tahun terakhir akan berakhir.”
Heine-Geldern mengatakan Afghanistan selalu menjadi salah satu negara yang paling melanggar kebebasan beragama sebagai hak fundamental.
Selama 22 tahun terakhir, ACN telah menerbitkan laporan tahunan yang menilai keadaan kebebasan beragama di setiap negara di dunia.
Heine-Geldern mengatakan analisis mereka tentang Afghanistan, tidak meninggalkan banyak ruang harapan untuk perbaikan, dan bahwa semua agama minoritas, termasuk pengikut sekte Islam lainnya, “akan mengalami penindasan yang lebih besar.”
Ia mengatakan pengambilalihan oleh Taliban merupakan kemunduran besar bagi semua hak asasi manusia, dan terutama untuk kebebasan beragama di negara itu.
Heine-Geldern menyatakan keprihatinan lebih lanjut bahwa jumlah negara yang tampaknya telah menerima Emirat Islam Afghanistan “tidak hanya melegitimasi Taliban, tetapi juga memberanikan rezim otoriter di seluruh dunia, khususnya di kawasan ini.”
“Pengakuan internasional terhadap Taliban juga akan bertindak sebagai magnet bagi kelompok Islam radikal yang lebih kecil, menciptakan konstelasi baru faksi teroris agama yang dapat menggantikan formasi dalam sejarah seperti al-Qaeda dan ISIS,” katanya.
Heine-Geldern mengatakan bahwa perubahan rezim telah memicu “pertanyaan diplomatik pelik yang tak terhitung jumlahnya,” mengenai keadaan hak asasi manusia di Afghanistan.
“Apakah akan ada tanggapan dari Taliban atas klaim hak asasi manusia tanpa saluran formal? Fakta bahwa sebagian besar kedutaan Barat ditutup, dan pengamat internasional meninggalkan negara itu, seperti yang mereka lakukan di Suriah pada 2011, bukanlah pertanda baik,” katanya.
Lebih dari 99 persen penduduk Afghanistan adalah Muslim. Ada juga sejumlah orang Hindu, Bahai, Buddha dan Kristen.
Perkiraan jumlah orang Kristen di Afghanistan bervariasi dari yang tertinggi 20.000 orang hingga terendah 1.000 orang. Mereka menjalani kehidupan iman mereka secara rahasia, sehingga angka yang akurat tidak mungkin didapat.
Hanya ada satu gereja Katolik di negara itu, tersembunyi di Kedutaan Besar Italia yang harus ditutup karena pandemi COVID-19.
Pada tahun 2018, diperkirakan ada 200 umat Katolik di Afghanistan.
Beberapa pemimpin gereja rumah bawah tanah dilaporkan telah menerima surat dari Taliban bahwa mereka sedang diawasi. Ada kekhawatiran bahwa orang-orang Kristen akan dibunuh secara langsung dan bahwa gadis-gadis muda Kristen akan dinikahkan dengan para pejuang Taliban.
Bahkan sebelum pengambilalihan oleh Taliban, pemeluk Kristen dari Islam menghadapi pengucilan dan bahkan kekerasan dari anggota keluarga.
Hingga 16 Agustus, dua Yesuit India dan empat Misionaris Cinta Kasih sedang dalam proses menunggu evakuasi.