Home LiCAS.news Bahasa Indonesia News (Bahasa) Pemimpin pro-demokrasi Hong Kong, Martin Lee, dinominasi untuk Nobel Perdamaian

Pemimpin pro-demokrasi Hong Kong, Martin Lee, dinominasi untuk Nobel Perdamaian

Martin Lee, pemimpin pro-demokrasi Hong Kong, dinominasikan untuk mendapat Penghargaan Nobel Perdamaian tahun ini.

Dikenal sebagai “Bapak Demokrasi” Hong Kong, Lee yang berusia 82 tahun, telah memperjuangkan kebebasan yang lebih besar bagi warga Hong Kong selama bertahun-tahun.

Lee adalah pendiri partai pro-demokrasi pertama di kota itu, Persatuan Demokrat Hong Kong pada tahun 1990 selama era kolonial Inggris, dan juga memimpin partai penggantinya Partai Demokrat. Ia juga bertugas di badan legislatif kota itu selama lebih dari dua dekade.




Dalam sebuah pernyataan, anggota parlemen Norwegia Mathilde Tybring-Gjedde dan Peter Frolich, yang mencalonkan Lee, berharap bahwa langkah tersebut akan “menjadi sumber inspirasi bagi gerakan pro-demokrasi di Hong Kong dan mengadvokasi kebebasan di seluruh dunia.”

“Martin Lee Chu-ming telah menempuh setiap jalan selama lebih dari 40 tahun dengan tujuan untuk memastikan kebebasan dan keamanan bagi rakyat Hong Kong,” kata Tybring-Gjedde.

“Ia telah mengabdikan hidupnya untuk tujuan itu,” tambahnya.

Lee, seorang anglofilia yang ayahnya adalah seorang ahli lukisan kuas tinta dan kaligrafi Tiongkok, adalah penasihat utama untuk Inggris dan Tiongkok selama negosiasi penting pada tahun 1980-an yang membuka jalan bagi penyerahan tahun 1997.

Ketua Partai Demokrat saat itu Martin Lee (tengah) mengepalkan tangan bersama rekan partainya Yeung Sum (kiri) dan Yuen Bun Keung pada 25 Mei 1998 ketika Lee kembali ke kursi di dewan legislatif pertama di bawah aturan Tiongkok yang menarik jumlah pemilih yang luar biasa lebih dari 53 persen. Partai Demokrat menang telak di daerah pemilihan geografis Hong Kong. (Foto oleh Peter Parks/AFP)
- Newsletter -

Seorang orator ulung,  yang membantu mendirikan partai pro-demokrasi besar pertama di kota itu, Lee telah lama mengadokasi keterlibatan dengan Tiongkok untuk mencari kesamaan dalam melangkah maju.

Namun, dalam wawancara Reuters baru-baru ini, orang Katolik yang bersuara serak itu lebih berhati-hati.

“Mereka tidak ingin rakyat Hong Kong memiliki harapan untuk implementasi penuh dari satu negara, dua sistem,” katanya tentang kepemimpinan Tiongkok daratan.

Lee, seorang pasifis yang merangkul aktivisme dan filosofi Martin Luther King Jr. dan Mahatma Gandhi, mengatakan selalu dihantui oleh pembantaian terhadap mahasiswa dan warga sipil oleh militer Tiongkok di dan sekitar Lapangan Tiananmen di Beijing tahun 1989.

Penasihat hukum itu berpendapat bahwa pengunjuk rasa di Hong Kong melakukan kekerasan karena “Anda mengijinkan pihak lain untuk menggunakan kekerasan, dan bagaimana mungkin Anda bisa melawan mereka dengan kekerasan?”

Hal ini telah menjadi bagian dari demo damai pro-demokrasi di Hong Kong. Ia ditangkap bersama 14 tokoh pro-demokrasi lainnya tahun lalu karena demonstrasi tak berijin pada Agustus 2019 dan saat ini mendapat jaminan dan sedang menunggu persidangan.

Mengomentari penangkapannya pada saat itu, Lee mengatakan dia tidak menyesal dan bangga berjalan pada jalan demokrasi dengan orang-orang muda yang ditahan karena protes anti-ekstradisi tahun 2019.

“Pengalamannya ditangkap benar-benar menandai tonggak yang sangat penting dalam kejatuhan Hong Kong,” kata Victoria Hui, profesor ilmu politik di Universitas Notre Dame, kepada The New York Times. “Ketika orang-orang bahkan moderat ditangkap, apa yang tersisa?”

Ketua Komite Nobel Norwegia itu memberikan Penghargaan Nobel Perdamaian pada 10 Desember setiap tahun. Sejak 1901, telah diberikan kepada 107 individu dan 28 organisasi.

Seorang aktivis pro-demokrasi terkemuka yang dikenal sebagai Nenek Wong dan tokoh Kebebasan Pers Hong Kong juga dinominasikan untuk penghargaan tersebut.

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest