Home LiCAS.news Bahasa Indonesia Church & Society (Bahasa) Kardinal Parolin: Vatikan mengambil langkah tepat untuk 'rekonsiliasi' dengan Tiongkok

Kardinal Parolin: Vatikan mengambil langkah tepat untuk ‘rekonsiliasi’ dengan Tiongkok

Kardinal Pietro Parolin, sekretaris negara Vatikan, mengatakan Vatikan mengambil langkah yang tepat untuk melakukan rekonsiliasi dalam Gereja, termasuk dengan Gereja di Tiongkok.

Hal itu disampaikan Kardinal Paroli dalam wawancara radio minggu ini bahwa Gereja di Tiongkok “merupakan bagian fundamental dari Gereja Katolik.”

Ia mengatakan “segala sesuatu… telah dan sedang dicoba untuk mengamankan komunitas ini, yang masih kecil namun memiliki kekuatan dan vitalitas yang besar.”




Langkah-langkah yang diambil sejauh ini “berada pada arah yang benar menuju rekonsiliasi di dalam Gereja… bahkan meskipun belum bisa menyelesaikan semua masalah yang ada dan mungkin akan membutuhkan waktu lama untuk mengatasinya,” katanya.

Kardinal Parolin mengatakan kepada jaringan radio COPE Spanyol pada 5 April bahwa Vatikan melakukan segalanya “untuk memastikan kehidupan Gereja di Tiongkok normal,” yang disebutnya menderita karena penganiayaan.

Ia mengatakan “kegigihan” umat dalam iman mereka harus memberi Gereja harapan akan masa depan, termasuk persekutuan dengan paus.

Pada bulan Oktober tahun lalu, Vatikan memperbarui “perjanjian sementara” yang kontroversial dengan pemerintah Tiongkok, khususnya tentang pengangkatan uskup Katolik.

Dalam sebuah pernyataan, Vatikan mengatakan penerapan awal dari kesepakatan itu “cukup positif” sehingga diperpanjang hingga 22 Oktober 2022.

- Newsletter -

Perjanjian tersebut mendesak Tiongkok untuk secara resmi mengakui otoritas paus di dalam Gereja, sementara Vatikan pada gilirannya akan mengakui keabsahan uskup yang sebelumnya ditunjuk oleh Beijing.

Umat Katolik di Tiongkok bangkit perpecahan selama lebih dari setengah abad yang membuat mereka terbelah antara Gereja “resmi” yang didukung negara dan Gereja bawah tanah “non-resmi” yang tetap setia kepada Roma.

“Perjanjian sementara” yang ditandatangani di Beijing pada 22 September 2018, dan mulai berlaku sebulan kemudian, berakhir tahun lalu sehingga diperpanjang.

Takhta Suci telah berulang kali mengumumkan bahwa mereka “bermaksud untuk mengupayakan dialog yang terbuka dan konstruktif untuk kepentingan kehidupan Gereja Katolik dan kebaikan rakyat Tiongkok.”

Kesepakatan itu ditentang keras oleh Departemen Luar Negeri AS dan beberapa umat Katolik, yang mengatakan Vatikan telah dijual kepada pemerintah komunis.

Banyak yang percaya bahwa kesepakatan itu pada akhirnya akan mengarah pada hubungan diplomatik dengan Beijing, yang berarti bahwa Vatikan harus memutuskan hubungan dengan Taiwan.

Akan tetapi Kardinal Parolin mengatakan dalam wawancara sebelumnya bahwa Vatikan “tidak berbicara tentang hubungan diplomatik” tetapi hanya tentang “upaya untuk menormalkan kehidupan Gereja.”

Dalam sebuah pernyataan, Takhta Suci mengatakan “tujuan utama” dari perjanjian itu adalah “untuk mendukung dan mendorong pewartaan Injil” dan “memulihkan kesatuan dan keutuhan Gereja.”

Kamera pengintai terpasang dekat lukisan saat Misa Malam Natal di Katedral Xishiku, sebuah gereja Katolik yang direstui negara di Beijing, 24 Desember 2019. (Foto oleh Florence Lo/Reuters)

Dalam pernyataan sebelumnya, Kardinal Parolin mengakui bahwa telah muncul “berbagai kesalahpahaman” terkait kesepakatan sementara tersebut.

Ia mengatakan sebagian besar masalah ini muncul karena “peristiwa yang tidak terkait tentang kehidupan Gereja Katolik di Tiongkok dikaitkan dengan perjanjian tersebut.”

“Bahkan dikaitkan dengan masalah politik yang tidak ada hubungannya dengan kesepakatan yang sebenarnya,” kata kardinal itu.

Kardinal Parolin mengatakan dia menyadari adanya berbagai masalah yang berkaitan dengan kehidupan Gereja Katolik di Tiongkok, tetapi tidak mungkin menghadapi semua masalah sekaligus.

Vatikan mencatat bahwa beberapa sektor politik internasional “telah berusaha menganalisis karya Takhta Suci terutama sepanjang garis geopolitik”.

Dalam wawancara pada 5 April, Kardinal Parolin mengatakan Vatikan terus menjamin “ruang bagi kebebasan beragama, dan persekutuan karena seseorang tidak dapat hidup di Gereja Katolik tanpa persekutuan dengan penerus Petrus, yaitu paus.”

Ia mengakui bahwa perpecahan dalam Gereja Katolik itu nyata dan itu “banyak merusak Gereja.”

“Siapa pun yang melihat situasi Gereja saat ini khawatir akan hal-hal ini karena mereka ada di sana,” kata Parolin.

“Ada alasan untuk khawatir,” kata kardinal itu dan menambahkan bahwa konflik tersebut “mungkin berasal dari fakta bahwa paus sangat menekankan pada reformasi Gereja, dan ada banyak kebingungan tentang itu.”

Kardinal Parolin mencatat bahwa kadang-kadang perpecahan dan perlawanan ini muncul dari kebingungan, dari ketidakmampuan untuk membedakan “antara apa yang esensial dan tidak dapat diubah dan apa yang tidak esensial dan harus diubah, sesuai dengan semangat Injil.”

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest