Kelompok marjinal di Asia Selatan tidak mendapat akses ke program vaksinasi COVID-19 akibat dari kurangnya kesadaran dan keterbatasan teknologi, kata Amnesty International.
Amnesty mengatakan bahwa kelompok yang terancam tidak mendapatkan suntikan vaksin di wilayah tersebut termasuk penduduk wilayah kumuh, Dalit, etnis minoritas, para pekerja termasuk buruh, warga desa, narapidana, dan pengungsi internal.
Wilayah Asia Selatan terdiri dari Afghanistan, Pakistan, India, Nepal, Bhutan, Bangladesh, Maladewa, dan Sri Lanka.
AI menambahkan bahwa kelompok lainnya termasuk pengungsi dan migran yang dikucilkan seluruhnya dari program vaksin pemerintah di banyak negara sampai sekarang.
“Ketika kampanye vaksin diluncurkan, kelompok-kelompok yang terpinggirkan di seluruh Asia Selatan terkunci oleh hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya,” kata Yamini Mishra, direktur Asia-Pasifik Amnesty International.
“Pemerintah Asia Selatan harus memastikan bahwa semua orang mendapatkan vaksin, tanpa memandang kasta, sosial ekonomi atau status, ras, atau kewarganegaraan,” kata Mishra.
Kelompok hak asasi itu mengatakan bahwa warga kurang mampu di seluruh Asia Selatan tidak memiliki ponsel pintar dan perangkat seluler lainnya, yang dalam banyak kasus diharuskan untuk mendaftar secara online untuk mendapatkan vaksin dan sarana di mana sebagian besar informasi kesehatan masyarakat disebarluaskan.
Warga desa salah paham
Kurangnya akses pada rencana pemerintah dan mekanisme berbagi informasi tentang peluncuran vaksin, memunculkan kesalahpahaman di kalangan masyarakat pedesaan, misalnya di Bangladesh, yang berpikir bahwa COVID-19 hanya untuk penduduk perkotaan, kata Amnesty.
Di Sri Lanka, komunikasi yang terbatas seputar tanggal, tempat, dan kelayakan untuk mendapatkan vaksin merupakan hambatan bagi warga untuk mendapatkan akses vaksinasi.
Tidak ada informasi yang tersedia tentang rencana vaksin COVID-19 dan imunisasi masyarakat luas di beberapa negara seperti Afghanistan, Pakistan dan Sri Lanka, tambah AI.
Sementara itu, rencana vaksinasi yang telah dikembangkan oleh negara-negara seperti Bangladesh untuk penduduk secara menyeluruh, tidak ada pelaksanaannya, seperti upaya menyuntik pekerja kebersihan, pekerja tidak terampil dan masyarakat dari kelompok berpenghasilan rendah.
Amnesty mengatakan bahwa di Pakistan, proses registrasi untuk vaksin mengecualikan kelompok-kelompok tertentu seperti pengungsi dan migran, karena mengharuskan adanya nomor identitas nasional.
Namun, pada awal April, pihak berwenang negara itu menyetujui warga negara asing yang berusia di atas 60 tahun dan petugas kesehatan yang berasal dari luar negeri untuk menerima suntikan, namun hingga kini ada ketidakjelasan tentang proses pendaftaran bagi mereka.
Persediaan vaksin terbatas
Saat sebagian besar negara produsen vaksin memprioritaskan penduduk mereka sendiri, negara-negara di seluruh Asia Selatan berusaha keras untuk memesan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri mereka, kata Amnesty.
Situasi ini menyebabkan ratusan juta warga di seluruh kawasan itu tidak dapat mengakses vaksin di masa mendatang, termasuk satu juta pengungsi Rohingya di Bangladesh dan empat juta pengungsi di Afghanistan.
Di Pakistan, persediaan yang terbatas telah menyebabkan banyak petugas kesehatan kesulitan untuk mendapatkan suntikan vaksin kedua mereka, dan itu membuat mereka bisa terpapar ketika negara itu mengalami pandemi gelombang ketiga dan yang paling mematikan.
Untuk membantu mengatasi masalah ini, Amnesty meminta pemerintah di seluruh dunia untuk mengesampingkan ketentuan perjanjian global yang mengatur hak dan paten atas obat-obatan.
“Kerja sama internasional adalah kunci untuk menahan penyebaran virus dan membuat vaksin tersedia secara universal secepat mungkin,” kata Mishra.
“Negara-negara Asia Selatan yang memiliki kapasitas untuk memproduksi vaksin dengan harga terjangkau harus memastikan distribusi yang adil dan meminta lembaga internaional, perusahaan farmasi, dan negara-negara produsen vaksin lainnya untuk memprioritaskan pengalihan sumber daya dan teknologi agar bisa memproduksi vaksin secara lokal,” katanya.
Infeksi virus corona di sub-wilayah Asia Selatan melampaui 15 juta pada 10 April, menurut penghitungan Reuters, dengan rekor tertinggi harian ada di India. India melaporkan rekor baru 200.000 kasus COVID-19 baru pada 15 April.