Para pemimpin agama Kristen, Hindu, dan Buddha di Bangladesh memperingati Black Day (Hari Hitam) pada 9 Juni untuk memperbarui desakan mereka untuk menghapus perubahan konstitusi yang menciptakan Islam sebagai agama negara.
Hari Hitam diperingati setiap tahun untuk mengenang persetujuan amandemen Konstitusi pada tahun 1988 yang mengakui peran institusional Islam di negara itu.
“Jika keadaan ini berlanjut, fundamentalisme Islam dan kebencian berbasis agama pada akhirnya akan menciptakan masalah serius,” bunyi pernyataan dari Dewan Persatuan Kristen Buddha Hindu Bangladesh.
Dalam pertemuan daring yang diadakan pada hari Rabu, dewan memperbaharui seruan untuk membatalkan amandemen Konstitusi itu.
“Amandemen itu telah menanamkan benih kebijakan sektarian,” kata Nirmol Rozario, presiden dewan itu dalam sebuah wawancara dengan AsiaNews.
“Di negara di mana umat Hindu, Budha, dan Kristen juga tinggal, satu agama tidak dapat menyatakan dirinya sebagai agama negara,” tambahnya.
Konstitusi menyatakan bahwa Bangladesh adalah negara sekuler, tetapi amandemen 1988 menyatakan bahwa Islam adalah agama negara.
“Ini adalah kontradiksi yang jelas,” kata Rozario.
Pengacara dan aktivis hak asasi manusia Sultana Kamal mengatakan pada pertemuan itu bahwa “biasanya Konstitusi diubah untuk memperbaikinya, tetapi di negara kami itu dilakukan untuk mendukung satu kelompok agama.”
Kamal ingat bahwa Bangladesh sebagai negara sekuler telah ditegaskan setelah perang berdarah pada tahun 1971. “Mengapa perdana menteri saat ini setuju dengan diskriminasi ini?”
Sheikh Hasina, Perdana Menteri Bangladesh, adalah putri dari presiden pertama dan bapak pendiri Bangladesh, Sheikh Mujibur Rahman.