Home LiCAS.news Bahasa Indonesia News (Bahasa) Pemerintah Malaysia dinilai memperlakukan kritik sebagai kejahatan

Pemerintah Malaysia dinilai memperlakukan kritik sebagai kejahatan

Pihak berwenang Malaysia terus menanggapi kritikan terhadap pemerintah dengan melakukan penyelidikan pidana, kata Human Rights Watch mengutip kasus-kasus terbaru yang menargetkan staf Al Jazeera dan jurnalis lainnya.

Kelompok HAM yang bermarkas di New York itu dalam sebuah pernyataan mengatakan bahwa para jurnalis, aktivis, dan warga biasa baru-baru ini menghadapi investigasi polisi atas pidato damai yang diatur undang-undang umum yang bertentangan dengan kebebasan berekspresi.

“Pemerintah Perikatan Nasional Malaysia semakin menanggapi kritikan publik dengan melakukan investigasi yang kejam dengan tuduhan yang tidak jelas,” kata Phil Robertson, wakil direktur HRW Asia. “Perdana Menteri Muhyiddin Yassin harus menerima bahwa setiap orang memiliki hak untuk mengkritik pemerintah mereka tanpa takut akan diselidiki atau dituntut.”




HRW mengatakan bahwa target terbaru dari kemarahan pemerintah adalah Al Jazeera, yang menghasilkan film dokumenter tentang perlakuan Malaysia terhadap pekerja migran selama pandemi COVID-19.

Setelah mengecam film dokumenter itu “menipu dan tidak etis,” Menteri Pertahanan Ismail Saabri mengatakan bahwa Al Jazeera harus “meminta maaf kepada semua warga Malaysia.” Polisi kemudian mengumumkan bahwa mereka sedang menyelidiki Al Jazeera dengan atas hasutan, pencemaran nama baik, dan melanggar Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia (CMA).

Departemen Imigrasi negara itu juga mengumumkan bahwa mereka sedang mencari salah satu migran yang diwawancarai dalam laporan Al Jazeera.

Direktur jenderal departemen itu memperingatkan bahwa orang asing yang “membuat pernyataan yang tidak akurat yang bertujuan untuk melecehkan negara” akan menghadapi potensi pencabutan visa atau izin kerja mereka.

- Newsletter -

Dalam film dokumenter itu, Al Jazeera melaporkan bahwa mereka telah menghubungi pemerintah dan meminta wawancara dengan pejabat senior, tetapi permintaan wawancara itu ditolak.

Contoh lain yang diberikan oleh HRW adalah kasus Boo Su-Lyn, editor portal berita kesehatan CodeBlue, yang mengumumkan pada 6 Juni bahwa ia sedang diselidiki atas serangkaian artikel tentang temuan penyelidikan independen terhadap kebakaran rumah sakit Oktober 2016 yang membunuh enam pasien. Boo Su-Lyn menyatakan bahwa temuan yang menjadi dasar artikelnya telah dinyatakan bukan rahasia lagi (deklasifikasi).

Dalam kasus lain yang menargetkan media, HRW menunjukkan bagaimana jaksa agung Malaysia mengajukan laporan penghinaan terhadap portal berita online Malaysiakini dan editornya, Steven Gan, berdasarkan komentar yang diunggah oleh pembaca media itu.

Kelompok hak asasi itu menyebutkan bahwa Komite Jurnalisme Independen dan Dewan Pengacara Malaysia merupakan sebagian dari mereka yang telah menyatakan keprihatinan tentang implikasi dari kasus ini bagi kebebasan media.

Aktivis dan warga biasa juga menghadapi penyelidikan kriminal dalam hal pidato mengkritik pemerintah, kata HRW. Pada 7 Juli, polisi menanyai direktur LSM Refugee for the Refugees tentang sebuah unggahan media sosial yang menuduh telah melakukan penganiayaan terhadap pengungsi di pusat-pusat penahanan imigrasi.

HRW mengatakan bahwa aktivis, Heidy Quah, sedang diselidiki karena pencemaran nama baik dan pelanggaran pasal 233 dari CMA dan diminta untuk menyerahkan teleponnya kepada polisi.

Pada 3 Juli, kelompok HAM itu mengatakan bahwa seorang pensiunan didenda RM2.000 (US $ 470) karena mengunggah komentar “menghina” tentang menteri kesehatan di media sosial, meskipun pengadilan mencatat bahwa kritik itu “tidak berlebihan atau bersifat jahat.” Dia harus menjalani hukuman penjara sebulan jika dia gagal membayar denda.

Sementara tidak satu pun dari investigasi tersebut yang menghasilkan dakwaan pidana, beberapa yang lain telah dituntut karena pidato damai, kata HRW dan memberikan tiga contoh individu yang dituduh karena sangat kritis.

“Sejak pemerintah baru berkuasa, kebebasan berbicara dan pers menghadapi ancaman baru di Malaysia,” kata Robertson.

“Pemerintah harus berhenti memperlakukan kritik sebagai kejahatan dan mengambil langkah segera untuk mengubah atau mencabut undang-undang yang digunakan untuk menentang pidato kritis.”

© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest