Home LiCAS.news Bahasa Indonesia Church & Society (Bahasa) 'Laskar St Alphonsus' jadi penyelamat korban pandemi di Thailand

‘Laskar St Alphonsus’ jadi penyelamat korban pandemi di Thailand

Ketika pandemi virus Corona melanda Thailand, para ‘Laskar St. Alphonsus” – sebutan yang kadang disematkan bagi para Redemptorist dalam lingkaran Katolik di Asia Tenggara- membiarkan gereja mereka tetap terbuka. Mereka terus menyambut siapa saja, merawat orang sakit dan merawat para lansia tanpa memandang agama dan kebangsaan mereka.

Pada 26 Januari,  tercatat 959 orang terinfeksi virus dalam satu hari di negara itu, sebagian besar adalah pekerja migran dari Myanmar. Sejak awal pandemi, hingga 1 Februari tercatat sudah ada  77 kematian dan 18.782 yang terinfeksi.

Orang Thailand mengenal frase “khi klua”, yang berarti mudah takut. Namun, hal ini tidak dapat dianggap sepenuhnya negatif, mengingat di Bangkok 99 persen orang yang Anda temui memakai masker wajah, penyemprot disinfektan ada di mana-mana, dan jarak sosial ditaati- dunia yang berbeda dari Eropa dan AS.




Tapi di sini rasa takut tetap ada.

Misalnya, gereja-gereja Katolik di negara itu, baik pada gelombang pertama maupun gelombang kedua, tetap ditutup secara ketat atas perintah uskup agung Bangkok dan Tha Rae.

Namun Paroki Sang Penebus di Bangkok selalu terbuka namun dengan tindakan pencegahan COVID-19.

“Kami secara ketat mengikuti semua prosedur sanitasi, jarak, pembersihan tangan dan kontrol suhu, sehingga kami dapat tetap terbuka. Pejabat dari pemerintah datang untuk memeriksa dan tidak menemukan ada yang salah sama sekali dengan pengaturan kami,” kata seorang imam Redemptorist di gereja yang terletak di sebuah gang di pusat Bangkok yang disebut“ Soi Ruamruedee ” yang berarti “satu hati ”.

- Newsletter -

Gereja Sang Penebus di Bangkok terkenal dengan arsitektur tradisional Thai. Ia tidak memiliki AC, tetapi pintu samping selalu terbuka sehingga memungkinkan ventilasi yang sangat baik selama musim panas di Thailand dan sekarang untuk meminimalkan risiko penyebaran virus corona.

Semua kegiatan untuk membantu orang miskin dan kaum lansia yang tinggal di komunitas mayoritas Muslim di dekat gereja terus berlanjut selama pandemi bahkan untuk periode yang lama ketika Bangkok diisolasi.

Gereja Sang Penebus di Bangkok. (Foto oleh George Ritinsky)

Ada kekhawatiran dari orang-orang yang tinggal di dekat gereja bahwa pemberian makanan sehari-hari dan mengunjungi rumah-rumah untuk memeriksa para lansia dapat menyebarkan virus. Namun sejak awal pandemi, tidak ada kelompok atau penularan komunitas yang berasal dari kegiatan semacam itu di gereja.

Tahun lalu, saat Paskah dan sebelum Natal, ketika gelombang pertama dan kedua pandemi melanda Thailand, banyak orang Kristen mengandalkan para imam Redemptoris. Baik di paroki  maupun melalui perayaan Ekaristi online yang komprehensif dan layanan katekese – semuanya disiarkan langsung ke 13.000 pengikutnya di Facebook.

Kisah para Redemptoris yang selalu menghadapi kritik telah dimulai sejak 1 Mei 1949, ketika sekelompok kecil Redemptoris muda asal Amerika tiba di Thailand dan mulai menggores tinta sejarah di sini mengikuti semangat pendiri mereka, St.Alphonsus Maria de Liguori (yang hidup pada abad ke-18).

Interior of Holy Redeemer Church, Bangkok
Interior Gereja Sang Penebus di Bangkok mengadopsi arsitektur lokal Thailand (Foto oleh LiCAS.news)

Tahun 1954 mereka membangun gereja yang kontroversial dengan gaya kuil Budha. Kaum Redemptoris waktu itu meminta arsiteknya untuk mendesain gereja bergaya Thai, bukan bangunan bergaya Prancis seperti yang sedang tren pada saat itu.

Hasilnya gereja itu masih berdiri hingga hari ini sebagai Gereja Sang Penebus di Soi Ruamruedee, sebuah jalan yang tidak jauh dari distrik komersial Bangkok. Sekarang menjadi salah satu tempat paling terkenal dan dihargai oleh orang Thailand dan orang asing yang tiba di sini, terutama pada hari Minggu.

Sikap “pemberontak” para Redemptoris tercermin dalam pepatah umum di antara umat Katolik di Thailand bahwa “jika Anda tidak bisa menikah di paroki, tidak bisa membaptis anak Anda, tidak bisa mengaku di gereja mana pun, datang saja ke Gereja Sang Penebus”.

Hanya dalam waktu kurang dari 100 tahun misi Redemptoris di Thailand dan Vietnam (di mana mereka mulai sejak 1925), putra-putra St. Alfonsus telah berada di sana untuk para tunawisma, yatim piatu, cacat, buta, lapar, buta huruf, pengungsi, dan orang-orang yang melarikan diri dan orang-orang yang tiba di Thailand dan tidak mengenal satu orang pun di sana. Mereka akan selalu muncul, atas nama orang miskin, melawan pelecehan dan penindasan.

Di masa pandemi ini, kesaksian mereka tentang kehangatan, kebahagiaan, keterbukaan, sambutan menjadi lebih bernilai.

“Jangan berhenti mencintai,” kata presiden Gerakan Focolare, Maria Voce, sebuah seruan yang diwujudkan oleh para laskar Redemptoris ini.


Artikel ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Italia oleh Città Nuova di: https://www.cittanuova.it/thailandia-gli-amorevoli-ribelli-santalfonso/


© Copyright LiCAS.news. All rights reserved. Republication of this article without express permission from LiCAS.news is strictly prohibited. For republication rights, please contact us at: [email protected]

Support Our Mission

We work tirelessly each day to tell the stories of those living on the fringe of society in Asia and how the Church in all its forms - be it lay, religious or priests - carries out its mission to support those in need, the neglected and the voiceless.
We need your help to continue our work each day. Make a difference and donate today.

Latest